Dalam bab ini saya ingin menghimbau kepada kaum muslimin -- berdasarkan kenyataan yang terjadi pada saat ini -- bahwa kita tidak saja berprasangka buruk dan mengabaikan adab-adab terhadap ulama, bahkan kita banyak menentang dan menghina mereka. Menurut ajaran Islam, perbuatan ini sangat berbahaya. Memang, dalam setiap kalangan selalu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula di kalangan alim ulama. Namun, tentu saja ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk. Benar bahwa ada ulama suu' (buruk) dan ada ulama rasyad (yang diberi petunjuk), namun tidak ada batasan tertentu dalam hal ini.
Ada dua hal yang perlu kita perhatikan dalam masalah ini: Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu', janganlah sekali-kali kita membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika hanya karena berprasangka buruk bahwa si pembicara adalah ulama' suu', janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman. Allah berfirman:
"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati, semuanya akan ditanya." (Q.s. Al-Israa: 36).
Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi saw. bersikap sangat hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin, janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah, 'Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.'" Maksudnya, meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, kita bukan saja menolaknya, bahkan kita menentangnya. Bahkan yang lebih parah, kepada ahli kebenaran pun kita berbuat demikian.
Satu hal lagi yang harus kita ingat, bahwa ulama Haqqani (Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang baik) adalah manusia juga. Yang ma'sum hanyalah para Anbiya a.s.. Oleh sebab itu; jika ada kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka, tanggungjawabnya kembali pada diri mereka sendiri. Hanya Allah Yang berhak menentukan apakah adzab atau ampunan bagi mereka. Insya Allah, dengan Rahim-Nya, mereka akan diampuni sebagaimana majikan yang menyuruh pembantunya meninggalkan urusan pribadinya dan menyibukkan diri dalam tugas majikannya, sudah pasti majikan itu akan menyayanginya dan mudah memaafkannya. Apalagi Allah, tidak ada Majikan Yang lebih mulia daripada-Nya. Walaupun dengan keadilan-Nya Dia menyiksa seseorang, itu masalah lain.
Dengan demikian, apabila ada orang yang mengajak untuk berburuk sangka kepada alim ulama, membenci alim ulama, berusaha menjauhkan manusia dari alim ulama dan menyebabkan kekacauan dalam masalah agama, mereka adalah penyebab kerusakan agama, dan orang yang berbuat demikian akan mendapat siksa yang keras. Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan orang tua muslim, memuliakan pembawa (hafizh) Al-Quran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil." (Abu Dawud - At-Targhib).
Hadits lain berbunyi:
"Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama." (Ahmad, Thabrani, Hakim - At-Targhib).
Dari Abu Umamah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga jenis manusia, yang tidak merendahkan mereka kecuali orang munafik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang adil." (Thabrani - At-Targhib).
Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal: (1) Keduniaan berlimpah sehingga manusia saling mendengki. (2) Orang jahil berusaha menafsirkan Al-Quran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. "Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal." Apabila alim ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah lebih jauh, adakah hak bagi orang-orang awam untuk berkomentar? (3) Alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku." (Thabrani - At-Targhib).
Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan kepada alim ulama. Dalam kitab Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan mereka itu menyebabkan mereka terkena hukum kufur, namun kita mengabaikan hal ini. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam membicarakan ulama. Jika di dunia ini tidak ada alim ulama yang benar dan jujur, dan yang ada hanyalah orang-orang jahil dan ulama suu', Kita tetap tidak boleh menuduh seseorang itu ulama suu' hanya berdasarkan ucapan orang. Dalam keadaan demikian, setiap muslim di seluruh dunia wajib mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Keberadaan alim ulama di tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah. Apabila suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka tuntutan hukum fardhu gugur dari semuanya dan jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka kita semua berdosa.
Dewasa ini, perbedaan pendapat di kalangan alim ulama telah menimbulkan kegelisahan dan perpecahan di kalangan masyarakat. Dalam taraf tertentu mungkin ini ada benarnya, namun sebenarnya perbedaan pendapat ini bukan hanya terjadi pada lima puluh atau seratus tahun yang lalu, bahkan pada zaman Rasulullah saw. juga pernah terjadi. Beliau pernah memberikan sandalnya kepada Abu Hurairah r.a. dan bersabda, "Ambillah sandalku ini sebagai tanda, dan umumkanlah kepada kaum muslimin bahwa barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah dengan ikhlas, ia dijamin masuk surga." Kemudian Umar r.a. berjumpa dengan Abu Hurairah r.a. dan bertanya, "Engkau hendak ke mana?" Abu Hurairah r.a. menyampaikan sabda Rasulullah saw. kepadanya. Umar r.a. marah kepada Abu Hurairah r.a., sebab ia tidak sependapat mengenai hal tersebut. Umar memukul dada Abu Hurairah hingga terjatuh ke belakang. Pada saat itu tidak ada protes, aksi unjuk rasa, ataupun resolusi untuk menentang perbuatan Umar r.a. berkenaan dengan perselisihan tersebut.
Di antara para sahabat terdapat ribuan pendapat; dan diantara empat imam yang masyhur pun ada perbedaan pendapat dalam masalah fiqih. Mengenai shalat saja, dari takbir hingga salam, terdapat kurang lebih dua ratus perselisihan (misalnya cara mengangkat tangan, mengucapkan amin dengan keras atau pelan, dan sebagainya). Itu baru yang saya ketahui, belum yang di luar pengetahuan saya. Meskipun demikian, tidak pernah ada pamflet-pamflet dan poster-poster serta perdebatan mengenai masalah tersebut. Rahasianya, masalah-masalah yang diperselisihkan itu tidak sampai ke telinga masyarakat awam. Perselisihan pendapat di antara alim ulama adalah rahmat dan merupakan sesuatu yang mesti terjadi. Misalnya, jika seorang ulama berfatwa mengenai suatu hukum syar'i dengan suatu hujjah, lalu ada ulama lain yang berpendapat bahwa hujjahnya salah, maka ulama tersebut harus mengeluarkan fatwa yang berbeda. Jika tidak, ulama itu telah berdosa dan bermaksiat.
Sebenarnya, orang-orang telah menjadikan perbedaan pendapat antar ulama sebagai alasan untuk tidak beramal. Padahal, di antara para dokter dan ahli hukum pun ada perbedaan pendapat, namun hal ini tidak pernah membuat orang-orang tidak berobat dan tidak mengajukan masalah tersebut ke pengadilan. Lalu mengapa dalam masalah agama, perbedaan pendapat di antara alim ulama dijadikan alasan? Bagi mereka yang ingin beramal, sangat penting agar mengikuti ulama yang mengamalkan sunah dan tidak perlu menjelek-jelekkan ulama lainnya. Mereka yang pemahamannya tidak sampai pada dalil-dalil dan pentarjihan (putusan dalil terkuat) tidak berhak campur tangan. Nabi saw. bersabda, "Mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya berarti menyia-nyiakan ilmu."
Akan tetapi, kemerosotan agama sudah sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa berhak untuk mengomentari dan menjelaskan firman-firman Allah swt. dan sabda-sabda Nabi saw. yang sudah jelas maknanya. Dalam keadaan seperti ini, adakah mereka dikatakan sebagai ulama?
Allah swt. berfirman:
"Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Q.s. Al-Baqarah : 229).