30 Mei 2009

Ayat-Ayat Al-Quran Yang Menegaskan Kepentingan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar


Dengan mengharap berkah Allah swt. melalui Kalam-Nya, kami menulis di bagian awal buku ini beberapa ayat Al-Quran yang menegaskan pentingnya usaha tabligh dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dari ayat-ayat ini semoga para pembaca dapat dengan mudah memahami betapa penting menegakkan dakwah Islam di sisi Allah swt.. Tentang masalah ini, Dia telah mengulanginya berkali-kali di dalam kalam suci- Nya. Kami telah menemukan kurang lebih enam puluh ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk mentablighkan agama. Mungkin, jika ada orang yang lebih teliti, kami tidak tahu berapa banyak lagi ayat yang akan ditemukan mengenai masalah ini. Jika semua ayat tersebut ditulis dalam buku ini tentu akan menjadi sangat  tebal. Oleh sebab itu, kami menuliskan beberapa ayat saja.

1.      Firman Allah Swt.:

"Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah dan beramal shalih dan berkata, "Bahwasanya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslim)." (Q.s. Fushilat : 33).

Sebagian mufassir menafsirkan bahwa barangsiapa menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara apa saja, maka ia berhak mendapat kehormatan berupa berita gembira dan pujian seperti yang disebutkan di dalam ayat di atas, misalnya para Nabi a.s. berdakwah dengan menggunakan mukjizatnya, alim ulama berdakwah dengan menggunakan dalil dan hujjahnya, para mujahid berdakwah dengan pedangnya, dan para muadzin berdakwah dengan adzannya. Intinya, siapa pun yang menyeru kepada Allah, ia berhak mendapatkan kehormatan itu, baik mengajak kepada amalan-amalan zhahir atau amalan-amalan batin, sebagaimana para ahli tasawuf yang mengajak kepada ma'rifatullah (mengenal Allah). (Tafsir Khazin )

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat, "Dan ia berkata bahwa aku termasuk muslim," bermakna bahwa seorang muslim hendaknya bangga dengan keislaman dikaruniakan Allah kepadanya, dan ia yakin bahwa keislamannya itu merupakan kemuliaan baginya. Ahli-ahli tafsir lainnya menafsirkan bahwa dalam setiap kegiatan dakwah dan tabligh, selayaknya kita tidak merasa sombong karena menjadi seorang mubaligh. Kita seharusnya berendah hati dengan menganggap bahwa kita hanyalah seorang muslim biasa sebagaimana muslim lainnya.

2.      Firman Allah Swt.:

"Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman." (Q.s. Adz-Dzariyat : 55).

Ahli tafsir menulis bahwa maksud ayat di atas adalah memberikan nasihat dengan memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur'an yang tentu sangat bermanfaat. Adapun manfaatnya bagi orang mukmin tentunya sudah jelas. Sedangkan bagi orang-orang kafir, karena dengan usaha ini, insya Allah mereka dapat menjadi beriman dan akan termasuk di dalam ayat di atas. Namun sayangnya, pada zaman ini kesempatan berdakwah dan bertabligh sudah hampir tertutup.Umumnya, para mubaligh hanya ingin menunjukkan  kepandaian dan kefasihan berbicara supaya para pendengar memujinya. Padahal, Rasulullah saw. bersabda bahwa barangsiapa belajar seni pidato dan berbicara agar manusia condong kepadanya, maka amal ibadahnya, baik yang fardhu atau yang sunah tidak akan diterima pada hari Kiamat."

3.      Firman Allah Swt.:

"Dan suruhlah keluargamu (umatmu) dengan shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberimu rezeki. Dan akibat (yang baik) itu bagi orang yang bertakwa." (Q.s. Thaha: 132).

Banyak hadits yang menyatakan bahwa jika Rasulullah saw. berpikir untuk menghilangkan kesempitan hidup seseorang, maka beliau akan menyuruhnya supaya mengerjakan shalat. Kemudian beliau membaca ayat di atas, seakan-akan beliau mengisyaratkan bahwa janji dilapangkannya rezeki itu bergantung kepada dijaganya shalat. Alim ulama menegaskan bahwa mengapa di dalam ayat ini seseorang di perintah untuk menjaga shalatnya sendiri, di samping memerintahkan orang lain untuk shalat, karena hal itu akan lebih bermanfaat dan akan memberikan kesan terhadap  orang lain, sehingga orang lain  juga akan menjaga shalat. Oleh karena itu, Allah swt. mengutus para Nabi dengan membawa hidayah. Mereka datang di tengah-tengah kaumnya sebagai suri teladan, mereka  mengamalkan apa yang mereka sampaikan, sehingga orang yang mau mengamalkannya akan merasa mudah. Dan tidak terlintas di dalam pikirannya bahwa hukum ini atau itu susah diamalkan. Setelah itu, di dalam ayat di atas,  Allah swt.menjanjikan rezeki untuk orang yang menegakkan shalat. Kemaslahatan janji itu adalah  bahwa terkadang secara lahiriyah, menjaga shalat tepat pada waktunya akan menimbulkan kerugian  dalam pekerjaan, terutama dalam berdagang, bekerja  sebagai buruh, dan sebagainya. Namun demikian, Allah swt. membantahnya bahwa rezeki adalah tanggungan-Nya. Semua ini baru urusan dunia. Dan disebutkan juga bahwa kebahagiaan sesungguhnya hanya akan dicapai oleh orang-orang yang bertakwa. Selain mereka, tidak ada seorang pun yang mendapatkan kebahagiaan hakiki.

4.      Firman Allah Swt.:

"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat baik, dan cegahlah dari kemungkaran dan bersabarlah atas apa-apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu adalah urusan yang diutamakan." (Q.s. Luqman : 17).

Ayat ini menyebutkan dengan jelas beberapa hal terpenting bagi seorang muslim, yang menjadi penyebab tercapainya kebahagiaan yang sempurna. Sayangnya, kita justru melalaikannya. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar sudah hampir ditinggalkan, bahkan perintah shalat sebagai amalan yang terpenting setelah iman juga sudah banyak dilalaikan. Banyak kaum muslimin yang sama sekali tidak melaksanakan shalat. Ada yang shalat, tetapi tidak memperhatikannya dengan sempurna, terutama shalat berjamaah. Padahal, dengan shalat berjamaah dikatakan sebagai menegakkan shalat. Pada umumnya, orang-orang miskin saja yang shalat berjamaah di masjid, sedangkan orang-orang kaya dan para tokoh merasa hina jika shalat di masjid.

Kepada Allah sajalah kita mengadu.

Sebuah syair menyatakan:

Wahai insan yang lalai.

Apa yang menjadi kehinaan bagimu, adalah kebanggaan bagiku.

5.      Firman Allah Swt.:

"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang mengajak (manusia) kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah kemungkaran, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Q.s. Ali Imran: 104).

Dalam ayat ini, Allah dengan tegas memerintahkan umat Islam agar dapat mewujudkan suatu umat yang mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Namun sayang, secara umum kita telah melalaikan perintah ini. Sebaliknya, orang-orang non-muslim justru sangat memperhatikannya, misalnya para misionaris Kristen, mereka siap menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia dengan sungguh-sungguh. Begitu pula agama lainnya, mereka menyiapkan para penyebar agamanya. Namun adakah di kalangan umat Islam suatu jamaah yang berusaha demikian? Jawabannya tidak ada.  Kalaupun ada jamaah muslimin atau pribadi yang berusaha mentablighkan Islam, bukan bantuan dan kerjasama yang diterima, tetapi yang diperoleh adalah berbagai halangan dan kritikan. Begitu bertubi-tubi rintangan ini, akhirnya para mubaligh berputus asa dan meninggalkan dakwah yang mulia ini. Sebenarnya, kewajiban terpenting setiap muslim ialah membantu siapa saja yang benar-benar mentablighkan Islam dan memperbaikinya bila salah. Tetapi ia sendiri justru tidak melakukannya, bahkan para mubaligh ia jadikan sebagai sasaran kritik seolah-olah ingin menghentikan mereka.

6.      Firman Allah Swt.:

"Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan kalian beriman kepada Allah." (Q.s. Ali Imran: 110).

Banyak hadits Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa umat Islam adalah umat yang termulia di antara umat lainnya. Dan banyak pula ayat Al-Quran yang menyatakan demikian, baik dengan jelas maupun dengan isyarat. Dalam ayat di atas, Allah swt. telah memuliakan kita sebagai umat yang terbaik. Dan Allah telah menyebutkan syaratnya, yaitu selama kita berdakwah mengajak umat ini kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Para ahli tafsir mengatakan bahwa dalam ayat ini, kalimat amar ma'ruf nahi mungkar disebutkan lebih dulu daripada iman kepada Allah. Padahal, iman adalah pangkal segala amalan. Tanpa iman, kebaikan apa pun tidak akan bernilai sedikit pun di sisi Allah. Hal ini terjadi karena iman juga dimiliki oleh umat terdahulu, tetapi ada suatu amalan khusus yang menjadikan umat Muhammad saw. lebih unggul dibandingkan kaum-kaum sebelumnya, yaitu tugas amar ma'ruf nahi mungkar. Inilah penyebab umat Muhammad saw. lebih istimewa daripada umat lainnya. Meskipun demikian, iman tetap ditekankan dalam ayat ini, karena amal apa pun tidak akan bernilai tanpa iman.

Dan maksud utama ayat tersebut adalah menyebutkan pentingnya amar ma'ruf nahi mungkar bagi umat ini. Oleh karena itu ia disebutkan terlebih dahulu  daripada  iman. Maksud adanya amar ma'ruf nahi mungkar sebagai sesuatu yang menjadikan umat ini lebih unggul adalah, hendaknya umat ini memperhatikannya secara khusus, sehingga bertabligh secara sambil lalu tidaklah memenuhi syarat. Sebab, tabligh sebagai tugas tambahan pun sudah ada pada umat-umat sebelumnya, sebagaimana firman Allah,  "Ketika mereka lalai dari mengingatkan." Peringatan seperti ini banyak disebutkan dalam ayat-ayat lainnya. Jadi, kelebihan umat ini terletak pada perhatian khusus dalam dakwah. Oleh sebab itu, hendaknya dakwah dilaksanakan sebagai pekerjaan  yang pokok sebagaimana kerja-kerja agama atau dunia lainnya.

7.      Firman Allah Swt.:

"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa berbuat demikian karena mengharap ridha Allah, maka Kami akan memberinya pahala yang besar." (Q.s. An-Nisa: 114).

Dalam ayat ini Allah swt. berjanji akan memberi pahala besar bagi orang-orang yang mendakwahkan kebenaran. Seberapa besarkah pahala yang disebut besar oleh Allah? Dalam menafsirkan ayat ini, Nabi saw. bersabda, "Setiap ucapan seseorang adalah beban baginya, kecuali ucapan yang ia ucapkan untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau berdzikir kepada Allah." Dalam hadits lain, Nabi saw. bersabda, "Maukah aku beritahukan kepadamu suatu kebaikan yang lebih utama daripada shalat sunah, puasa, dan sedekah?" Jawab para sahabat, "Beritahukanlah, ya Rasulullah!" Beliau bersabda, "Mendamaikan sesama manusia, karena kebencian dan pertengkaran dapat menghilangkan kebaikan seperti pisau cukur mencukur rambut."

Masih banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi saw. yang menyuruh kita agar mendamaikan perselisihan di antara manusia dan menganjurkan kasih sayang dan saling mencintai sesama mereka. Yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa menganjurkan kasih sayang di tengah umat pun termasuk amar ma'ruf nahi mungkar dan merupakan kebaikan yang sangat besar. Oleh sebab itu, kita mesti bersungguh-sungguh untuk mewujudkan perdamaian dan dalam  memeliharanya.

26 Mei 2009

Hadits-Hadits Rasulullah saw. Tentang Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Dalam bab ini akan diketengahkan beberapa hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan pembahasan Bab I. Memang bukan maksud saya untuk menghimpun semua hadits (mengenai dakwah); lagi pula,  hal itu juga tidak mungkin. Selain alasan tersebut, apabila dituliskan semua ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah saw. mengenai amar ma'ruf nahi mungkar, dikhawatirkan tidak akan ada orang yang mau membacanya. Pada zaman ini, siapakah yang memiliki waktu dan kesempatan untuk hal-hal seperti itu? Jadi, sekadar memberitahukan  dan menyampaikan kepada para pembaca betapa penting amar ma'ruf nahi mungkar dalam pandangan Nabi saw., dan betapa keras ancaman jika kita meninggalkannya. Di sini akan dituliskan sebagian dari hadits-hadits tersebut.

Hadits Ke-1:

Dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa melihat kemungkaran dilakukan di hadapannya, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka bencilah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman." (Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i - At-Targhib).

Disebutkan dalam hadits yang lain bahwa jika seseorang dapat mencegah kemungkaran dengan lidahnya, maka cegahlah. Jika tidak, maka yakinilah di dalam hati bahwa perbuatan itu merupakan suatu kemungkaran. Dengan demikian, ia terbebas dari tanggung jawab tersebut. Hadits lain mengatakan, "Barangsiapa membenci kemaksiatan, walaupun hanya di dalam hati, ia pasti seorang yang beriman. Tidak ada lagi derajat iman yang lebih rendah dari derajat itu. Masih banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan tentang hal ini. Sekarang lihatlah, apa yang tejadi di depan kita, berapa banyak di antara kita yang telah melaksanakan hadits tersebut? Berapa banyak kemungkaran yang telah kita saksikan, lalu kita mengubahnya dengan tangan kita, atau dengan lisan kita? Dan berapa banyak di antara kita yang hatinya benar-benar membenci kemungkaran? Padahal itulah selemah-lemah iman. Paling tidak, hendaklah kita meyakini bahwa kemungkaran adalah kemungkaran, dan ada kesedihan di dalam hati ketika melihatnya. Akhirnya, marilah kita berpikir, apa yang sedang terjadi pada zaman ini dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadapnya.

Hadits Ke-2:

Dari Nu'man bin Basyir r.a., Nabi saw. bersabda, "Perumpamaan seseorang yang berada dalam batasan Allah dan orang yang melanggar batasan-Nya adalah seperti dua kelompok manusia yang naik sebuah kapal. Sebagian mereka duduk di bagian atas, dan yang lain di bagian bawah. Jika orang-orang yang di bawah memerlukan air, mereka harus melewati orang-orang yang ada di bagian atas. Lalu orang-orang yang di bagian bawah itu berkata, "Seandainya kita lubangi saja bagian bawah perahu ini tentu kita tidak akan menyusahkan orang-orang yang di atas!" Apabila orang-orang yang di bagian atas membiarkan mereka, maka semuanya akan celaka. Dan jika mereka yang bagian atas mencegah mereka, maka semuanya akan selamat." (Bukhari, Tirmidzi).

Pernah para sahabat Nabi saw. bertanya, "Ya Rasulullah, apakah kami akan dibinasakan walaupun di antara kami ada orang-orang shalih dan bertakwa?" Nabi saw. menjawab, "Ya, jika kejahatan telah merajalela."

Dewasa ini, umat Islam dilanda kemerosotan dari segala segi. Dan mereka yang mempedulikan Islam banyak yang mengkhawatirkannya, lalu berusaha dengan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan ini. Namun, jangankan para cendekiawan, para ulama pun tidak mau memperhatikan bagaimana dokter yang sebenarnya dan penuntun yang sangat menyayangi kita (Nabi saw.) memberitahukan diagnosa bagi penyakit umat tersebut dan apa obatnya. Sejauh manakah kita telah mengamalkannya? Adakah kezhaliman yang melebihi perkara ini: yaitu ketika sumber penyakit malah kita anggap sebagai obat penyembuh. Karena kita tidak memahami penyebabnya (kemajuan dan sebab-sebab kemajuan agama tidak diperhatikan, hanya mengandalkan pendapat masing-masing), maka jika yang kemarin sakit, hari ini tidak mati, apakah yang akan terjadi kelak?

Sebuah syair Urdu menyebutkan:

"Tuan, betapa polosnya engkau, engkau sakit, dan engkau beli  penyebab penyakit itu dari penjual minyak wangi sebagai obat."

Hadits Ke-3:

Dari Ibnu Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Penyebab utama kehancuran Bani Israil adalah, jika orang (shalih) di antara mereka bertemu dengan pelaku maksiat, ia berkata, "Takutlah kamu kepada Allah, janganlah kamu berbuat begitu, karena hal itu tidak halal bagimu!" Kemudian esoknya, orang shalih itu bertemu kembali dengan orang itu dalam keadaan sama, tetapi ia tidak melarangnya, bahkan orang shalih itu makan, minum, dan duduk bersamanya. Ketika mereka berbuat demikian, Allah menyatukan hati mereka (hatinya disamakan dengan hati pelaku maksiat tersebut). Kemudian Nabi saw. membacakan ayat, 'Telah dilaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa bin Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka lakukan. Engkau lihat kebanyakan mereka mengangkat orang-orang kafir menjadi pemimpin. Sungguh amat buruk apa yang mereka sediakan bagi diri mereka, yaitu murka Allah ke atas mereka dan mereka kekal dalam adzab. Dan jika mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi, dan apa-apa yang diturunkan kepadanya, tentu mereka tidak akan mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik." Kemudian Nabi saw. bersabda, "Ingatlah, demi Allah, kalian harus mengajak kebaikan dan mencegah keburukan, cegahlah mereka yang berbuat zhalim dan serulah mereka kepada kebenaran yang hakiki." (Abu Dawud, Tirmidzi - At Targhib).

Hadits lain menyatakan bahwa  ketika Rasulullah saw. sedang duduk bersandar di bantal, tiba-tiba beliau berdiri dengan penuh semangat lalu bersabda dan bersumpah, "Demi Allah, kamu tidak akan mencapai keselamatan selama kamu tidak mencegah penzhalim dari kezhalimannya." Beliau juga bersabda, "Kalian hendaklah selalu mengajak kepada kebenaran, mencegah kemungkaran, dan menghentikan penzhalim dari kezhalimannya dan mengajak mereka kepada kebaikan. Jika tidak, hati kalian akan disatukan dengan hati mereka, dan kalian akan dilaknat oleh Allah sebagaimana Allah telah melaknat Bani Israil." Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Bani Israil telah dilaknat karena mereka tidak mencegah orang lain dari perbuatan yang dilarang.

Dewasa ini dipandang sebagai kebaikan apabila seseorang selalu berdamai dan menggembirakan setiap orang pada setiap waktu dan keadaan. Dan ini dianggap sebagai kesempurnaan dan keramahan. Ini adalah pendapat yang keliru, sebab jika perbuatan kita tidak bermanfaat untuk amar ma'ruf nahi mungkar, maka diam itu lebih baik (daripada selalu mengiyakan). Sebaliknya, jika ada kesempatan untuk menyampaikan dan mengajak kepada kebaikan, misalnya kepada para bawahan, istri, anak, atau kenalan, sebaiknya kita tidak diam membisu. Pada saat seperti itu, diam bukanlah akhlak yang baik, bahkan diam pada saat seperti itu merupakan kesalahan yang besar, baik secara syariat atau adat. Sufyan Ats-Tsauri rah.a. berkata, "Barangsiapa sangat disukai dan dimuliakan tetangganya, kenalan, dan sanak saudaranya, kami menduga jangan-jangan ia tidak tegas dalam berdakwah!"

Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa bila kemaksiatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka akibat buruknya hanya akan menimpa pelakunya, tetapi jika maksiat dilakukan secara terang-terangan dan orang yang dapat mencegahnya hanya berdiam diri, maka semua orang akan mendapat akibat buruknya. Sekarang, setiap orang hendaknya memikirkan berapa banyakkah kemaksiatan yang terjadi di hadapan kita setiap hari, yang sebenarnya kita dapat mencegahnya, tetapi kita justru mengabaikannya dan tidak mempedulikannya? Tak seorang pun dari hamba Allah yang berusaha menghapus kemungkaran tersebut. Bahkan sekarang, jika ada orang yang berusaha mencegah kemungkaran; maka ia akan ditentang, disalahkan, bukannya dibantu, tetapi malah dilawan. Al-Quran menyatakan:

"Dan orang-orang yang zhalim itu akan mengetahui ke tempat manakah mereka akan kembali (untuk diadzab)." (Q.s. Asy-Syu'araa': 227).

Hadits Ke-4:

Dari Jarir bin Abdullah r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tidklah seseorang berada di suatu kaum dan ia berbuat maksiat, tetapi mereka tidak mengubahnya padahal mereka mampu mengubahnya, kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka bencana sebelum mereka mati." (Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Ashbahani - At Targhib).

Wahai sahabat-sahabatku yang ikhlas dan menginginkan kemajuan umat Islam dan agamanya! Sekarang saudara-saudara dengan jelas telah mengetahui apa yang menjadi penyebab kemerosotan kita. Setiap orang tidak usah melihat orang lain atau temannya. Lihatlah sejenak kemaksiatan yang dilakukan oleh anak-anak kita, keluarga kita, dan bawahan kita. Kemungkaran benar-benar terbuka di hadapan mata kita, tetapi sudahkah kita berusaha menghentikannya? Jangankan menghentikannya, keinginan ke arah itu saja ada atau tidak? Atau adakah kekhawatiran di dalam hati kita mengenai apa yang sedang diperbuat oleh anak kesayangan kita.

Biasanya kita memperhatikan tingkah laku anak-anak kita saja. Jika mereka terlibat dalam suatu kegiatan yang bertentangan dengan pemerintah atau hanya hadir dalam suatu pertemuan politik, maka kita akan merasa sangat cemas dan berusaha mencegah serta melarangnya. Bukan hanya mengkhawatirkan nasib anak-anak kita, tetapi juga mengkhawatirkan kehormatan kita. Sebaliknya, jika anak-anak kita melanggar perintah Allah, apakah kita juga mencegahnya sebagaimana kita mencegahnya ketika mereka melanggar peraturan pemerintah dunia yang remeh dan sementara?

Kadangkala kita mengetahui bahwa anak kita sudah terbiasa dengan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti bermain catur dan sering meninggalkan shalat. Namun, pernahkah kita mencegahnya walaupun sekadar mengatakan "Apa yang kamu lakukan? Itu bukan perbuatan seorang muslim." Padahal kita juga telah diperintahkan untuk meninggalkan makan minum dengan mereka. Banyak orangtua yang memarahi anaknya karena malas belajar atau bekerja, tetapi adakah di antara kita yang memarahi anaknya karena tidak memperhatikan shalat berjamaah atau karena mengqadha shalatnya?

Saudara-saudaraku, seandainya perkara-perkara tersebut menyebabkan kerugian akhirat saja, itu pun harus kita hindari sejauh-jauhnya. Tetapi celakanya, kerugian dunia yang secara amaliyah kita anggap lebih penting dari akhirat, kerugiannya juga disebabkan oleh perkara-perkara tersebut. Renungkanlah, adakah yang melebihi kebutaan ini?

"Barangsiapa buta (hatinya) di dunia ini, pasti ia akan buta di akhirat." (Q.s. Al-Israa: 72). Jadi, sebenarnya:

"Allah telah menutup hati, pendengaran, dan penglihatan mereka." (Q.s. Al- Baqarah: 7)

Hadits Ke-5:

Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Kalimat Laa ilaaha illallaah akan selalu memberi manfaat bagi orang yang mengucapkannya dan akan menjauhkan mereka dari adzab dan bencana, selama mereka tidak mengabaikan hak-haknya." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah maksud mengabaikan hak-haknya?" Jawab Beliau, "Kemaksiatan kepada Allah dilakukan dengan terang-terangan, tetapi tidak dicegah dan diubah." (Al-Ashbahani - At-Targhib).

Sekarang jawablah dengan jujur, apakah kemaksiatan kepada Allah pada saat ini ada akhirnya? Ada batasnya? Kita dapat menyaksikan betapa kemaksiatan demikian bebas dilakukan, tetapi adakah orang yang sungguh-sungguh mencegahnya atau paling tidak menguranginya? Sama sekali tidak ada. Dengan demikian, masih adanya kaum muslimin di dunia yang sedang dalam bahaya ini merupakan rahmat yang berharga dari Allah. Jika tidak, bukankah kita telah menyulut penyebab kehancuran bagi diri kita sendiri? Aisyah r.ha. bertanya kepada Nabi saw., "Jika Allah akan menurunkan adzab ke dunia ini, apakah adzab itu akan menimpa orang-orang yang shalih seperti orang-orang yang bersalah diadzab?" Jawab Nabi saw., "Ya, adzab akan menimpa semua orang di dunia ini; tetapi pada hari Kiamat, orang shalih akan dipisahkan dari orang yang bersalah."

Wahai saudara-saudaraku yang merasa puas dengan keshalihan dirinya di dunia, janganlah merasa tenang. Jika Allah menurunkan adzab karena kemaksiatan yang merajalela, kita pun akan terkena adzab tersebut (na'udzubillah).

Hadits Ke-6:

Dari Aisyah r.ha., ia berkata, "Suatu ketika, Rasulullah saw. masuk ke (dalam rumah)ku, dan aku mengetahui dari raut wajah beliau bahwa sesuatu telah terjadi pada diri beliau. Beliau tidak berbicara kepada siapa pun. Setelah berwudhu, beliau masuk ke masjid. Aku pun merapatkan (telinga) ke dinding kamarku agar dapat mendengar apa yang beliau sabdakan. Beliau duduk di atas mimbar. Setelah memuji Allah, beliau berkhutbah, 'Wahai manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, 'Serulah manusia agar berbuat baik dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum (datang masa) ketika kalian berdoa, tetapi doa kalian tidak Aku kabulkan; kalian meminta kepada-Ku tetapi Aku tidak memberimu; dan kalian meminta tolong kepada-Ku tetapi Aku tidak menolongmu.' Beliau tidak menambah khutbahnya hingga turun (dari mimbar)." (Ibnu Majah, Ibnu Hibban – At-Targhib).

Bagi saudara-saudara yang ingin melawan musuh-musuh Islam tetapi tidak mempedulikan dan meremehkan masalah agama hendaknya benar-benar memperhatikan hadits ini, bahwa pertolongan terhadap kaum muslimin itu tersembunyi dalam kekuatan agama mereka. Abu Darda r.a. adalah seorang sahabat yang terkenal. Ia berkata, "Tetaplah engkau menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kemungkaran. Jika tidak, Allah akan membangkitkan seorang raja zhalim yang akan memerintahmu, yang tidak menghormati kaum tuamu dan tidak akan menyayangi orang-orang muda di antaramu. Jika orang-orang shalihmu berdoa kepada-Nya, Dia tidak akan mengabulkan doa mereka. Jika engkau meminta bantuan dari-Nya, Dia tidak akan membantumu. Jika engkau memohon ampunan-Nya, Dia tidak mengampuni dosamu, oleh sebab itu Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, maka Dia akan menolongmu dan Dia akan mengokohkan langkah-langkahmu (terhadap musuh-musuhmu)." (Q.s. Muhammad: 7). Allah juga berfirman:

"Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkanmu. Dan jika Allah membiarkan kalian, maka siapakah yang akan membantu kalian (selain) Allah sesudah itu? Dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal." (Q.s. Ali Imran: 160).

Disebutkan di dalam Durrul-Mantsur, riwayat Tirmidzi dari Hudzaifah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda sambil bersumpah, "Tetaplah kamu menyuruh manusia agar berbuat baik dan mencegah mereka dari kemungkaran. Jika tidak, Allah akan menurunkan adzab yang pedih kepadamu dan doamu tidak diterima oleh-Nya."

Para pembaca yang mulia, marilah kita sama-sama berpikir, sejauh manakah kita telah melanggar hukum-hukum Allah? Dan mengapa usaha kita dalam memperbaiki umat ini gagal? Dan mengapa doa-doa kita tidak dikabulkan? Apakah kita telah menanam benih kemajuan atau kemerosotan?

Hadits Ke-7:

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu. Dan apabila umatku saling menghina , maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah." (Hakim, Tirmidzi - Durrul Mantsur).

Banyak orang yang berusaha agar umat Islam dan Islam menjadi jaya, tetapi usaha-usaha mereka ternyata menuju kegagalan. Jika kita meyakini bahwa Rasulullah saw. dan ajarannya benar, mengapa semua yang beliau ajarkan dan jelaskan sebagai penyebab penyakit justru kita anggap, bahkan kita dijadikan sebagai obat penyembuh? Nabi saw. bersabda, "Tidak sempurna iman seseorang di antaramu sehingga hawa nafsumu disandarkan pada agama yang aku bawa." Sayangnya, kita malah menganggap ajaran agama sebagai penghalang kemajuan kita.

Allah berfirman:

"Barangsiapa menginginkan keuntungan akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa menginginkan keuntungan dunia, maka Kami berikan kepadanya keuntungan dunia. Dan tidak ada bagian baginya di akhirat." (Q.s. Asy-Syuraa: 20).

Sebuah hadits menyatakan, "Seorang muslim yang menumpukan hasratnya kepada akhirat, maka Allah akan memasukkan rasa kaya ke dalam hatinya, dunia menjadi hina baginya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya. Barangsiapa menginginkan dunia; ia akan diliputi kesusahan dan bencana, tetapi ia tidak akan menerima melebihi apa yang seharusnya ia terima." Kemudian setelah membaca ayat di atas, Nabi saw. bersabda, "Allah berfirman, 'Wahai manusia, luangkanlah dirimu untuk menyembah-Ku. Sembahlah Aku, niscaya akan Aku lapangkan dadamu dari kekhawatiran, dan Aku hapuskan kemiskinanmu. Jika tidak, niscaya akan Aku penuhi hatimu dengan kegelisahan dan Aku tidak akan menghilangkan kemiskinanmu."

Demikianlah petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Namun sangat disayangkan, kita menganggap bahwa keterbelakangan kita adalah karena jalan yang kita tempuh untuk maju dirintangi oleh para ulama. Tidakkah kita memikirkannya? Marilah kita perhatikan, seandainya para ulama itu orang yang loba dunia, tentu kemajuan kita pun akan menguntungkan mereka, sebab kita menyangka bahwa rezeki mereka berasal dari kita. Berarti, semakin luas dan terbuka keduniaan kita, maka semakin banyak yang mereka dapatkan. Nah, bila demikian keadaannya, dan mereka masih menentang kita, tentu ada sebab lain yang memaksa mereka, sehingga mereka mengorbankan keuntungan mereka sendiri, memisahkan diri dari pendidik dan penyantun seperti kita, serta merusak dunia mereka sendiri. Bimbingan kepada kita akan menjadi rusak dan keduniaan kita pun akan rusak.

Saudara-saudaraku, pikirkanlah jika para ulama atau ustadz itu mengajar kita berdasarkan Al-Quran, apakah pantas kita menolaknya? Andaikan kita menolaknya, kita hanya akan dikatakan sebagai orang yang tidak berakal, bahkan kita telah jauh dari sifat keislaman yang sebenarnya. Para ulama ini, selemah apa pun mereka, selama mereka menyampaikan hukum-hukum Allah dan hadits-hadits Rasulullah saw., maka kita harus mendengarkan dan mengamalkan nasihat-nasihat mereka. Jika tidak, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Sebodoh-bodoh orang, ia tidak akan mengatakan bahwa perintah seorang pimpinan tidak penting untuk ditaati hanya karena perintah itu disampaikan oleh tukang pembersih toilet. Hendaknya kita tidak berburuk sangka bahwa ulama yang mengabdikan dirinya dalam dakwah itu bertujuan untuk mencari keuntungan dunia. Dalam pikiran kita, seorang ustadz yang sesungguhnya mungkin saja pernah meminta untuk dirinya. Bahkan semakin sibuk ia beribadah, sejauh itu pula ia merasa cukup menerima hadiah. Kecuali jika ia meminta bantuan untuk urusan agama, Insya Allah, pahalanya lebih besar daripada tidak meminta untuk diri sendiri.

Suatu hal yang patut disayangkan adalah, kebanyakan ayat-ayat Al-Quran dipahami secara keliru. Secara umum orang berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada ajaran kerahiban (menghindari dunia memikirkan akhirat semata). Dalam Islam, agama dan dunia diletakkan secara sama. Buktinya, Allah Ta'ala berfirman:

"Ya Rabb kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.s. Al-Baqarah: 201).

Mereka pun sangat menekankan ayat ini. Seolah-olah dari seluruh ayat Al-Quran, hanya satu ayat inilah yang turun untuk diamalkan. Padahal tidak demikian halnya. Pertama, untuk memahami tafsir ayat tersebut harus diambil dari Arraasikhuuna fil ilmi (orang-orang yang dalam ilmunya). Oleh sebab itulah alim ulama berpendapat bahwa mengaku sebagai ahli Al-Quran dengan hanya mempelajari terjemahan Al-Quran merupakan suatu kejahilan. Dan mengenai ayat di atas, para sahabat dan ulama tabi'in telah mengungkapkan penafsiran yang sebenarnya.

Qatadah r.a. berkata, "Makna kebaikan di dunia adalah keselamatan dan keperluan hidup yang cukup." Ali r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna seorang istri yang shalihah."

Hasan Basri rah.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna ilmu Islam dan ibadah."

Suddi rah.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna harta yang halal."

Ibnu Umar r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna anak-anak yang berbakti kepada orangtua dan keindahan tubuh."

Ja'far r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna badan yang sehat, rezeki yang cukup, pengetahuan Al-Quran, kemenangan terhadap musuh Islam, dan bergaul dengan para shalihin."

Kedua, seandainya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kemajuan dunia dalam segala bidang (sebagaimana hati saya pun menginginkannya), itu pun hanya disebutkan doanya kepada Allah, tidak disebutkan bahwa cara mendapatkannya adalah dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan dunia, sehingga berdoa memperbaiki tali sandal yang putus juga merupakan agama. Ketiga, siapakah yang melarang untuk mendapatkan dunia? Baik, dapatkanlah dunia, dengan senang hati dapatkanlah! Kita semua sama sekali tidak menghendaki untuk meninggalkan dunia yang memang dijarah dan dicari. Yang kita maksud, sebanyak apa pun usaha dunia kita, jangan sampai berlebihan, paling tidak berkadar sama dengan usaha agama. Sebab, sebagaimana pendapat kalian, agama dan dunia sama-sama diajarkan.

Dan lebih jauh lagi saya ingin mengingatkan, bukankah ayat di atas juga merupakan bagian dari Al-Quran yang sama, yang menyebutkan ayat-ayat berikut ini?

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka akan Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam yang akan dimasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh dan ia seorang mukmin, maka mereka itulah yang usahanya disyukuri." (Q.s. Al- Israa: 18-19).

"Itulah kesenangan di dunia, dan di sisi Allah adalah sebaik-baik tempat kembali (surga)." (Q.s. Ali Imran: 14).

"Di antara  kamu ada orang yang menginginkan keduniaan dan di antara kamu ada orang yang menginginkan akhirat." (Q.s. Ali Imran: 152).

"Katakanlah (wahai Muhammad)! Keuntungan dunia ini sedikit, dan akhirat adalah lebih baik bagi orang yang bertakwa." (Q.s. An-Nisa: 77).

"Dan tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan permainan dan senda gurau belaka, dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak memahaminya?" (Q.s. Al-An'aam: 32).

"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (Q.s. Al- An'aam: 70).

"Kalian menginginkan harta dunia, sedangkan Allah menghendaki akhirat (untukmu)." (Q.s. Al-Anfal: 67).

"Apakah kamu lebih senang dengan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal kesenangan hidup dunia (bila dibandingkan) dengan akhirat hanyalah sedikit." (Q.s. At-Taubah: 38).

"Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, akan Kami balas pekerjaan mereka di dunia dan mereka tidak dirugikan, itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan hilanglah apa yang mereka usahakan (di dunia) dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan." (Q.s. Huud: 15-16).

"Dan mereka bersuka cita dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia jika (dibandingkan) dengan kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (Q.s. Ar-Ra'd: 26).

"Maka atas mereka kemurkaan dari Allah, dan bagi mereka adzab yang besar. Yang demikian itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat." (Q.s. An-Nahl: 106-107).

Saya tidak menuliskan semua ayat yang membandingkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, cukup beberapa ayat sebagai contoh. Semuanya menunjukkan maksud bahwa siapa yang mementingkan kehidupan dunia daripada akhirat, maka ia akan merugi. Jika keduanya tidak dapat dicapai, hendaknya akhirat lebih dipentingkan dan ditunaikan keperluannya. Saya mengakui bahwa dunia itu memang perlu, tetapi tidaklah bijaksana jika kita duduk terus di dalam WC, walaupun kita memerlukan tempat itu. Jika kita memperhatikan hikmah Ilahi dengan seksama, akan kita temukan dalam syariat yang suci ini bahwa semuanya telah tercakup. Allah telah memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya mengenai semua perkara dengan jelas. Misalnya, Allah memerintahkan kita agar mengerjakan shalat fardhu pada waktu yang telah ditetapkan. Ini adalah isyarat agar kita dapat membagi waktu selama 24 jam, separuh malam dan siangnya khusus untuk ibadah, dan selebihnya untuk istrirahat dan untuk urusan keduniaan. Sebagaimana jalan pikiran Anda bahwa agama dan dunia harus sama-sama diperhatikan, maka hal itu menuntut pembagian waktu dalam sehari semalam; separuh untuk agama dan separuh untuk dunia. Jika kita menghabiskan lebih dari separuh waktu untuk keduniaan dan keperluan jasmani, berarti kita telah mengutamakan dunia.

Kesimpulannya, sesuai dengan pendapat Anda dan juga sesuai dengan keadilan; dalam sehari semalam selama 12 jam hendaknya kita gunakan khusus untuk agama, sehingga dunia dan akhirat dapat terpenuhi. Barulah betul bila kita katakan kita diperintah untuk mendapatkan dunia dan akhirat, dan Islam tidak mengajarkan kerahiban. Uraian ini sebenarnya bukan maksud dari bab ini, tetapi karena adanya kesalahpahaman, maka saya menuliskannya di dalam bab ini. Dalam bab ini, sebenarnya saya ingin menuliskan semua hadits Nabi saw. mengenai pentingnya dakwah dan tabligh, tetapi tujuh hadits di atas kiranya telah mencukupi bagi mereka yang beriman. Adapun bagi mereka yang tidak beriman, firman Allah swt. di bawah ini lebih dari cukup.

"Dan orang-orang yang zhalim kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Q.s. Asy- Syu'araa: 227).

Pada akhir bab ini, ada satu masalah penting yang mesti diperhatikan oleh para pembaca. Beberapa hadits menyebutkan bahwa suatu saat nanti akan tiba zaman fitnah, kebakhilan akan ditaati, setiap orang akan menuruti hawa nafsunya, dunia akan lebih diutamakan melebihi agama, setiap orang akan mengikuti keinginannya sendiri dan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Dan apabila zaman fitnah itu datang, kita dianjurkan oleh Rasulullah saw. agar pergi mengasingkan diri ke suatu tempat dan menyibukkan diri untuk beribadah tanpa harus berdakwah. Namun, para ulama berkata bahwa zaman fitnah itu belum tiba. Pada zaman ini, apa yang dapat kita lakukan adalah  jangan sampai kita melihat sendiri datangnya zaman tersebut. Pada saat itu, perbaikan dalam bentuk apa pun tidak mungkin dilakukan. Kita harus menjauhi segala keburukan yang telah disebutkan tadi, karena semua itu merupakan pintu fitnah. Dan setelah itu, hanya fitnah dan fitnahlah yang ada. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. memasukkan hal-hal di atas sebagai pembinasa.

Ya Allah, peliharalah kami dari fitnah yang nyata dan yang tersembunyi.

21 Mei 2009

Peringatan Agar Memperbaiki Diri Sendiri


Dalam bab ini saya ingin membahas tentang masalah khusus, karena pada zaman ini orang-orang pada umumnya telah melalaikan usaha tabligh. Begitu pula dalam diri sebagian manusia terdapat suatu penyakit, yaitu orang yang memberi nasihat agama, ceramah, tulisan, ta'lim atau tabligh kepada orang lain, maka yang terpikir olehnya adalah orang lain, sedangkan dirinya sendiri terlupakan. Padahal, meskipun bertabligh kepada orang lain itu sangat penting, tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki diri sendiri. Banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa Nabi saw. memberi peringatan keras kepada orang yang menasihati orang lain, tetapi ia sendiri melakukan kemaksiatan.

Pada malam Isra Mi'raj, Rasulullah saw. melihat sekelompok manusia yang bibirnya digunting-gunting dengan gunting api yang membara. Beliau bertanya, "Siapakah orang-orang itu?" Jibril a.s. menjawab, "Mereka adalah para mubaligh dari umatmu yang tidak mengamalkan apa yang mereka dakwahkan." (Misykat).

Sebuah hadits lain menyebutkan, "Sebagian ahli surga akan mendatangi sebagian ahli neraka dan bertanya, "Mengapa kalian berada di neraka, padahal kami telah mengikuti ajaran-ajaranmu, sehingga kami berada di surga?" Jawab mereka, "Karena kami tidak mengamalkan apa yang kami sampaikan kepada orang lain." Hadits lain berbunyi, "Adzab Allah akan lebih cepat diturunkan ke atas ulama yang jahat." Mereka sangat terkejut dan bertanya, "Mengapa adzab Allah lebih dahulu menimpa kami daripada menimpa para penyembah berhala?" Dijawab, "Orang-orang berilmu yang berbuat maksiat tidak mungkin disamakan dengan orang yang tidak berilmu yang berbuat maksiat."

Alim ulama yang mukhlis menulis bahwa nasihat-nasihat agama yang tidak diamalkan oleh orang yang memberikan nasihat tidak akan memberi manfaat kepada orang lain. Itulah sebabnya walaupun pada zaman ini setiap hari ada bermacam-macam nasihat, ceramah, majelis ta'lim, dan tulisan-tulisan, semuanya kurang berpengaruh terhadap amalan para pendengar dan pembacanya.

Allah swt. sendiri telah berfirman di dalam Al-Quran:

"Apakah kamu menyuruh manusia agar berbuat kebaikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab. Maka tidakkah kamu berpikir?" (Q.s. Al-Baqarah: 44).

Rasulullah saw. bersabda:

"Tidak dapat bergeser kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sehingga ia ditanya empat perkara: Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa ia gunakan? Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan? Dan tentang ilmunya, apakah ia mengamalkannya." (Bazzar, Thabrani - At-Targhib).

Abu Darda r.a., seorang sahabat yang terkenal, berkata, "Yang paling aku takuti ialah pertanyaan yang akan ditanyakan kepadaku pada hari Kiamat di depan seluruh manusia, yaitu: Apakah kamu telah mengamalkan ilmu-ilmu yang kamu miliki?" Seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw., "Siapakah makhluk yang paling buruk?" Beliau menjawab, "Jangan bertanya kepadaku mengenai hal-hal buruk, bertanyalah mengenai yang baik. Makhluk yang paling buruk adalah ulama yang jahat." Dalam sabda beliau lainnya, "Ilmu itu ada dua macam, pertama ilmu yang hanya ada dalam ucapan, ini pembungkam Allah (terhadap pemiliknya) dan akan menuntut ulama tersebut. Kedua, ilmu yang memberi kesan di dalam hati, yang akan memberi manfaat." Maksudnya, seseorang dalam menuntut ilmu agama hendaknya  tidak hanya yang bersangkutan dengan masalah lahiriyah, tetapi juga ruhaniyah, supaya berkesan di dalam hati. Kalau ilmu tidak berkesan di hati, maka Allah swt. akan menuntut pada hari Kiamat, "Apakah kamu mengamalkan ilmu yang kamu miliki?"

Masih banyak hadits lain yang menyebutkan betapa keras ancaman Allah. Oleh sebab itu, saya memohon kepada para penceramah dan mubaligh agar terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri, baik secara lahir maupun batin, dan mengamalkan apa yang telah disampaikan kepada orang lain. Jika hanya menyampaikan tetapi tidak mengamalkan, maka akan masuk dalam golongan orang-orang yang mendapat ancaman-ancaman tersebut. Saya berdoa kepada Allah, semoga Allah mengaruniakan kepada saya taufiq untuk memperbaiki diri saya lahir dan batin, serta dapat mengamalkan apa yang telah saya sampaikan. Karena saya adalah orang yang paling buruk amalannya. Saya bergantung sepenuhnya pada rahmat Allah atas segala kekurangan saya. Selain diri sendiri, siapakah yang lebih tahu akan keburukan amal perbuatannya?

16 Mei 2009

Pentingnya Memuliakan Sesama Muslim Dan Ancaman Bagi Yang Menghinanya


Pada bab ini saya ingin menyampaikan suatu hal penting yang harus diperhatikan oleh para mubaligh, yaitu agar betul-betul mengikuti tata-tertib dalam menyampaikan agama. Jika tata tertib ini sedikit dilalaikan, maka dapat menimbulkan suatu keburukan. Oleh sebab itu hendaknya berhati-hati. Banyak orang yang terlalu bersemangat dalam menyampaikan agama sehingga tidak mempedulikan harga diri sesama muslim. Padahal, kehormatan seorang muslim sangat penting. Perhatikanlah sabda Nabi saw.:

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong saudaranya." (Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah - At Targhib).

Dari Ibnu Abbas r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Barangsiapa menutupi aib saudaranya (muslim), maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat, dan barangsiapa membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah pasti akan membuka aibnya, sehingga Allah mempermalukannya di rumahnya karena aibnya itu." (Ibnu Majah - At Targhib).

Masih banyak hadits yang semakna dengan hadits di atas. Oleh sebab itu, para mubaligh hendaknya selalu menjaga kehormatan dan menutupi aib saudaranya. Sebuah hadits menyebutkan, "Barangsiapa tidak menolong saudaranya muslim ketika sedang dihina, maka Allah tidak akan mempedulikannya ketika ia sangat memerlukan bantuan-Nya." Juga disebutkan, "Riba yang paling buruk ialah mencemarkan nama baik seorang muslim."

Banyak riwayat yang menyatakan ancaman keras karena mencemarkan nama baik seorang muslim. Para mubaligh hendaknya berhati-hati dalam masalah ini. Cara menyampaikan nasihat yang benar adalah menasihati manusia secara tertutup untuk kesalahan yang dilakukan secara tersembunyi, dan menasihati secara terbuka untuk kesalahan yang dilakukan secara terang-terangan. Bagaimanapun juga, kehormatan seseorang tetap kita pedulikan sedapat mungkin. Jangan sampai karena rusaknya kebaikan, akhirnya dosa yang timbul. Dan agar nasihat itu tidak berakibat buruk, nasihat-nasihat itu harus disampaikan dengan cara yang baik, yang tidak akan membuat orang yang melakukannya merasa malu. Lebih jelasnya, sesuai dengan perintah Allah, bahwa yang bersalah tetap harus diperingatkan dengan tegas, tetapi jangan sekali-kali mengabaikan sopan santun dan adab yang baik.

Seorang mubaligh hendaknya menerapkan adab yang baik ketika menyampaikan ajaran agama kepada pendengarnya. Jika terjadi kemaksiatan, hendaklah ia menegur dengan kata-kata yang halus. Pernah seseorang memberi nasihat dengan kasar kepada khalifah Ma'mun Al-Rasyid, sehingga ia berkata, "Bersopan-santunlah dan gunakanlah adab terhadapku, karena Fir'aun lebih kejam daripadaku, sedangkan Musa dan Harun lebih baik daripadamu. Ketika mereka akan berdakwah kepada Fir'aun, Allah swt. berfirman kepada keduanya:

"Berkatalah kamu berdua kepadanya dengan lemah lembut agar ia mengikuti jalan yang benar atau agar ia takut kepada-Ku." (Q.s. Thaha: 44).

Seorang pemuda datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Izinkanlah aku berzina!" Mendengar itu, marahlah para sahabat, tetapi beliau bersabda kepada pemuda itu, "Kemarilah, apakah kamu suka jika orang lain berzina dengan ibumu?" Jawabnya, "Tidak!" Sabda beliau, "Orang lain pun tidak mau ibunya dizinahi. Apakah kamu suka jika orang lain berzina dengan anak perempuanmu?" Jawabnya, "Tidak!" Sabda beliau, "Orang lain pun tidak mau anak perempuannya dizinahi."

Demikianlah Nabi saw. menanyakan hal yang sama mengenai saudara perempuannya, sepupunya, dan sebagainya. Lalu beliau meletakkan tangannya di atas dada pemuda itu dan berdoa, "Ya Allah, sucikan hatinya, ampunilah dosanya, dan lindungilah ia dari zina." Para perawi berkata bahwa setelah kejadian tersebut, tidak ada perbuatan yang paling dibenci pemuda itu kecuali zina. Kesimpulannya, para mubaligh hendaknya selalu bersopan santun, menasihati secara halus, rendah hati, dan memperlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri senang jika diperlakukan demikian.

11 Mei 2009

Pentingnya Ikhlas, Iman, Dan Ihtisab


Secara khusus, saya memohon kepada para mubaligh agar ikhlas dalam setiap ceramah, tulisan, dan amal perbuatannya. Allah memberi pahala yang besar terhadap amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, walaupun amalan itu ringan. Sebaliknya, amal shalih tanpa keikhlasan tidak akan berpengaruh di dunia dan tidak akan menghasilkan pahala di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah tidak memandang tubuhmu dan bentuk rupamu, tetapi Dia memandang hatimu." (Muslim - At-Targhib).

Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai arti iman, beliau menjawab, "Artinya ikhlas." Di dalam kitab At-Targhib banyak ditulis riwayat tentang ikhlas, sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa ketika Mu'adz r.a. diutus ke Yaman sebagai hakim, ia meminta nasihat kepada Nabi saw.. Kemudian beliau bersabda, "Dalam setiap amalmu, jagalah keikhlasan, karena dengan keikhlasan, walaupun amal itu sedikit akan mencukupi." Hadits lainnya menyebutkan, "Allah hanya akan menerima amal seorang hamba-Nya yang dilandasi dengan keikhlasan." Sebuah hadits Qudsi menyebutkan:

"Akulah Yang Mahakaya dari seluruh sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang menyekutukan-Ku, akan Aku serahkan ia kepada sekutunya." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku terlepas darinya, dan baginya apa yang ia lakukan." (Muslim - Misykat).

Sebuah hadits menyebutkan, "Pada hari Kiamat akan terdengar pengumuman di padang Mahsyar, 'Barangsiapa yang menyekutukan Allah dalam amalannya, hendaklah ia menuntut pahala dari sekutu itu, karena Allah tidak menghendaki satu sekutu pun bagi-Nya.'" Sebuah hadits lain menyebutkan:

"Barangsiapa shalat karena riya (ingin dilihat orang lain), sungguh ia telah syirik. Barangsiapa berpuasa karena riya, sungguh ia telah syirik. Dan barangsiapa bersedekah karena riya, sungguh ia pun telah syirik." (Ahmad - Misykat).

Apabila seseorang beramal tanpa keikhlasan, yakni bukan untuk mencari ridha Allah tetapi berniat memamerkannya agar dihargai oleh manusia, secara tidak langsung ia telah menyekutukan Allah, sehingga seluruh amalnya tidak akan diterima oleh Allah swt.. Amal itu hanya akan sampai kepada orang yang ia harapkan pujian dan penghargaannya. Sebuah hadits berbunyi:

"Sesungguhnya orang yang pertama akan diadili pada hari Kiamat adalah orang yang telah mati syahid, ia akan dihadapkan kepada Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengakui kenikmatan itu. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya? Ia menjawab, "Aku berperang karena-Mu sehingga aku mati syahid." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berperang karena ingin disebut pahlawan, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir  kemudian dicampakkan ke neraka. Kemudian seseorang yang belajar dan mengajar ilmu agama dan suka membaca Al-Quran dihadapkan kepada Allah, maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal nikmat tersebut. Allah bertanya, "Apa yang kamu perbuat dengannya?" Jawabnya, "Aku belajar dan mengajar ilmu dan membaca Al-Quran karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu belajar dan mengajar agar disebut ulama, dan kamu membaca Al-Quran agar disebut qari, dan itu telah kamu dapatkan." Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka. Dan terakhir adalah seseorang yang dikaruniai kekayaan oleh Allah. Maka Allah memperlihatkan kenikmatan-Nya dan ia pun mengenal kenikmatan itu. Lalu Allah bertanya, "Apa yang telah kamu perbuat dengan kekayaanmu itu?" Ia menjawab, "Aku tidak membiarkan satu jalan pun yang patut diberi infak kecuali aku infakkan hartaku karena Engkau." Allah berfirman, "Kamu dusta! Kamu berbuat demikian agar disebut dermawan dan kamu telah mendapatkannya!" Maka diperintahkan agar orang itu diseret dengan dijungkir lalu dicampakkan ke neraka." (Muslim - Misykat).

Oleh sebab itu, sangat penting bagi para mubaligh agar selalu bertujuan mencari ridha Allah dalam menyampaikan kegiatannya dan dalam menyebarkan agama dengan mengikuti sunah Rasulullah saw.. Jangan sampai beramal untuk mencari ketenaran, mencari nama, atau agar dihargai orang lain. Jangan biarkan niat-niat tersebut ada di dalam hati kita. Jika terlintas dalam pikiran kita seperti itu, segeralah membaca, "Laa haula wala quwwata illa billah," dan beristighfarlah sebagai upaya untuk memperbaiki diri kita.

Dengan kelembutan kasih sayang Allah, kebenaran Rasul-Nya, dan keberkahan Kalam-Nya, saya memohon semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan para pembaca untuk dapat berbakti kepada agama-Nya sedaya upaya kita dengan ikhlas. Amin.

06 Mei 2009

Pentingnya Memuliakan Ulama


Dalam bab ini saya ingin menghimbau kepada kaum muslimin -- berdasarkan kenyataan yang terjadi pada saat ini -- bahwa kita tidak saja berprasangka buruk dan mengabaikan adab-adab terhadap ulama, bahkan kita banyak menentang dan menghina mereka. Menurut ajaran Islam, perbuatan ini sangat berbahaya. Memang, dalam setiap kalangan selalu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula di kalangan alim ulama. Namun, tentu saja ulama yang baik lebih banyak daripada yang buruk. Benar bahwa ada ulama suu' (buruk) dan ada ulama rasyad (yang diberi petunjuk), namun tidak ada batasan tertentu dalam hal ini.

Ada dua hal yang perlu kita perhatikan dalam masalah ini: Pertama, jika seorang ulama belum dipastikan sebagai ulama suu', janganlah sekali-kali kita membuat keputusan apa pun terhadapnya. Kedua, jika hanya karena  berprasangka buruk bahwa si pembicara adalah ulama' suu', janganlah sekali-kali membantah ucapannya begitu saja tanpa diselidiki terlebih dahulu, karena sikap seperti itu merupakan kezhaliman. Allah berfirman:

"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, serta hati, semuanya akan ditanya." (Q.s. Al-Israa: 36).

Pernah orang Yahudi menerjemahkan Taurat ke dalam bahasa Arab, lalu membacakannya kepada orang Islam. Nabi saw. bersikap sangat hati-hati, dan terhadap hal itu beliau bersabda, "Wahai kaum muslimin, janganlah kamu membenarkan kata-katanya dan jangan pula menolaknya. Katakanlah, 'Kami beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah.'" Maksudnya, meskipun itu ucapan orang kafir, janganlah kita membenarkan atau menyalahkannya begitu saja sebelum kita mengetahuinya dengan pasti. Namun, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya. Apabila ada orang yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat kita, kita bukan saja menolaknya, bahkan kita menentangnya. Bahkan yang lebih parah,  kepada ahli kebenaran pun kita berbuat demikian.

Satu hal lagi yang harus kita ingat, bahwa ulama Haqqani (Haq), ulama Rusydi (yang benar), dan ulama Khairi (yang baik) adalah manusia juga. Yang ma'sum hanyalah para Anbiya a.s.. Oleh sebab itu; jika ada kesalahan, kelemahan, dan kekurangan pada diri mereka, tanggungjawabnya kembali pada diri mereka sendiri. Hanya Allah Yang berhak menentukan apakah adzab atau ampunan bagi mereka. Insya Allah, dengan Rahim-Nya, mereka akan diampuni sebagaimana majikan yang menyuruh pembantunya meninggalkan urusan pribadinya dan menyibukkan diri dalam tugas majikannya, sudah pasti majikan itu akan menyayanginya dan mudah memaafkannya. Apalagi Allah, tidak ada Majikan Yang lebih mulia daripada-Nya. Walaupun dengan keadilan-Nya Dia menyiksa seseorang, itu masalah lain.

Dengan demikian, apabila ada orang yang mengajak untuk berburuk sangka kepada alim ulama, membenci alim ulama, berusaha menjauhkan manusia dari alim ulama dan menyebabkan kekacauan dalam masalah agama, mereka adalah penyebab kerusakan agama, dan orang yang berbuat demikian akan mendapat siksa yang keras. Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya sebagian dari mengagungkan Allah ialah: memuliakan orang tua muslim, memuliakan pembawa (hafizh) Al-Quran yang tidak melewati batas dan memuliakan pemimpin yang adil." (Abu Dawud - At-Targhib).

Hadits lain berbunyi:

"Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak-anak, dan tidak memuliakan alim ulama." (Ahmad, Thabrani, Hakim - At-Targhib).

Dari Abu Umamah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga jenis manusia, yang tidak merendahkan mereka kecuali orang munafik, yaitu orang muslim yang tua, ulama, dan pemimpin yang adil." (Thabrani - At-Targhib).

Rasulullah saw. bersabda, "Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali tiga hal: (1) Keduniaan berlimpah sehingga manusia saling mendengki. (2) Orang jahil berusaha menafsirkan Al-Quran dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah. "Dan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat Mutasyaabihaat, semuanya dari sisi Rabb kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal." Apabila alim ulama dalam ilmunya saja tidak berani melangkah lebih jauh, adakah hak bagi orang-orang awam untuk berkomentar? (3) Alim ulama ditelantarkan dan tidak akan dipedulikan oleh umatku." (Thabrani - At-Targhib).

Dewasa ini, berbagai ucapan buruk telah dilontarkan kepada alim ulama. Dalam kitab Fatwa Alamghiri disebutkan bahwa kebanyakan ucapan buruk yang diucapkan mereka itu menyebabkan mereka terkena hukum kufur, namun kita mengabaikan hal ini. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dalam membicarakan ulama. Jika di dunia ini tidak ada alim ulama yang benar dan jujur, dan yang ada hanyalah orang-orang jahil dan ulama suu', Kita tetap tidak boleh menuduh seseorang itu ulama suu' hanya berdasarkan ucapan orang. Dalam keadaan demikian, setiap muslim di seluruh dunia wajib mewujudkan masyarakat Islam yang dapat melahirkan alim ulama yang hakiki. Keberadaan alim ulama di tengah-tengah kita hukumnya fardhu kifayah. Apabila suatu jamaah sudah mewujudkan hal ini, maka tuntutan hukum fardhu gugur dari semuanya dan jika kita lalaikan usaha mewujudkan ulama yang hakiki ini, maka kita semua berdosa.

Dewasa ini,  perbedaan pendapat di kalangan alim ulama telah menimbulkan kegelisahan dan perpecahan di kalangan masyarakat. Dalam taraf tertentu mungkin ini ada benarnya, namun sebenarnya perbedaan pendapat ini bukan hanya terjadi pada lima puluh atau seratus tahun yang lalu, bahkan pada zaman Rasulullah saw. juga pernah terjadi. Beliau pernah memberikan sandalnya kepada Abu Hurairah r.a. dan bersabda, "Ambillah sandalku ini sebagai tanda, dan umumkanlah kepada kaum muslimin bahwa barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah dengan ikhlas, ia dijamin masuk surga." Kemudian Umar r.a. berjumpa dengan Abu Hurairah r.a. dan bertanya, "Engkau hendak ke mana?" Abu Hurairah r.a. menyampaikan sabda Rasulullah saw. kepadanya. Umar r.a. marah kepada Abu Hurairah r.a., sebab ia tidak sependapat mengenai hal tersebut. Umar memukul dada Abu Hurairah hingga terjatuh ke belakang. Pada saat itu tidak ada protes, aksi unjuk rasa, ataupun resolusi untuk menentang perbuatan Umar r.a. berkenaan dengan perselisihan tersebut.

Di antara para sahabat terdapat ribuan pendapat; dan diantara empat imam yang masyhur pun ada perbedaan pendapat dalam masalah fiqih. Mengenai shalat saja, dari takbir hingga salam, terdapat kurang lebih dua ratus perselisihan (misalnya cara mengangkat tangan, mengucapkan amin dengan keras atau pelan, dan sebagainya). Itu baru yang saya ketahui, belum yang di luar pengetahuan saya. Meskipun demikian, tidak pernah ada pamflet-pamflet dan poster-poster serta perdebatan  mengenai masalah tersebut. Rahasianya, masalah-masalah yang diperselisihkan itu tidak sampai ke telinga masyarakat awam. Perselisihan pendapat di antara alim ulama adalah rahmat dan merupakan sesuatu yang mesti terjadi. Misalnya, jika seorang ulama berfatwa mengenai suatu hukum syar'i dengan suatu hujjah, lalu ada ulama lain yang berpendapat bahwa hujjahnya salah, maka ulama tersebut harus mengeluarkan fatwa yang berbeda. Jika tidak, ulama itu telah berdosa dan bermaksiat.

Sebenarnya, orang-orang telah menjadikan perbedaan pendapat antar ulama sebagai alasan untuk tidak beramal. Padahal, di antara para dokter dan ahli hukum pun ada perbedaan pendapat, namun hal ini tidak pernah membuat orang-orang tidak berobat dan tidak mengajukan masalah tersebut ke pengadilan. Lalu mengapa dalam masalah agama, perbedaan pendapat di antara alim ulama dijadikan alasan? Bagi mereka yang ingin beramal, sangat penting agar mengikuti ulama yang mengamalkan sunah dan tidak perlu menjelek-jelekkan ulama lainnya. Mereka yang pemahamannya tidak sampai pada dalil-dalil dan pentarjihan (putusan dalil terkuat) tidak berhak campur tangan.  Nabi saw. bersabda, "Mengajarkan ilmu kepada  orang yang bukan ahlinya berarti menyia-nyiakan ilmu."

Akan tetapi, kemerosotan agama sudah sedemikian rupa sehingga setiap orang merasa berhak untuk mengomentari dan menjelaskan firman-firman Allah swt. dan sabda-sabda Nabi saw. yang sudah  jelas  maknanya. Dalam keadaan seperti ini, adakah mereka dikatakan sebagai ulama?

Allah swt. berfirman:

"Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Q.s. Al-Baqarah : 229).

02 Mei 2009

Pentingnya Bersahabat Dengan Para Shalihin Dan Menyertai Majelis Mereka


Dalam bab ini – yang seakan-akan sebagai penyempurna Bab VI – saya mengharapkan kepada kaum muslimin agar memperhatikan satu hal yang sangat penting, yaitu hendaknya selalu berhubungan dengan mereka yang senantiasa dekat dengan Allah (waliyullah) dan selalu mendatanginya. Perbuatan ini dapat menyebabkan kekuatan amal agama serta mendatangkan kebaikan dan keberkahan dalam hidup kita. Rasulullah saw. bersabda:

"Maukah aku tunjukkan kepadamu suatu perkara yang menguatkan agama dan dengannya kamu akan memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat? Hendaklah kamu menyertai majelis-majelis ahli dzikir (orang yang selalu mengingat dan membesarkan Allah)." (Al-Hadits - Misykaat).

Untuk dapat menyertai mereka yang dekat dengan Allah, hendaknya kita mengetahui ciri-ciri sebenarnya orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ciri-ciri mereka ialah senantiasa melaksanakan sunah-sunah Nabi saw., sebab Allah telah menjadikan Nabi saw. sebagai teladan bagi umatnya. Allah berfirman:

"Katakan (Wahai Muhammad), 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu, dan mengampuni dosa-dosamu.  Dan  Allah  Maha  Pengampun  lagi  Maha  Penyayang"  (Q.s. Ali Imran: 31).

Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti Rasulullah saw. dengan sempurna, berarti ia waliyullah. Dan barangsiapa jauh dari sunah-sunahnya, maka ia telah jauh dari Allah dan terjauh dari rahmat-Nya." Para ahli tafsir menulis bahwa barangsiapa mengaku mencintai Allah tetapi tidak mengikuti sunah Rasulullah saw., maka ia adalah pendusta. Karena sudah menjadi kaidah dalam bercinta  bahwa kita akan mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan yang kita cintai. Jika kita mencintai seseorang, kita pun akan mencintai rumahnya, temboknya, lantainya, tamannya, sampai hewan piaraannya. Seorang penyair mengutip ucapan Amrul Qais, kekasih Laila yang termasyhur:

Ketika aku lewat di kota Laila,  aku cium dinding ini dan itu.

Sebenarnya bukanlah kecintaan kepada kota itu yang menggetarkan hatiku, namun kecintaanku kepada orang yang tinggal di kota itu

Seorang penyair lainnya berkata:

Kamu mengaku  mencintai Allah

padahal perbuatanmu bertentangan dengan perintah-Nya 

Seandainya cintamu itu sejati, niscaya kamu selalu mentaati-Nya

Sesungguhnya orang yang mencintai selalu patuh kepada yang dicintainya

Rasulullah saw. bersabda, "Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan." Para sahabat r.a. bertanya, "Siapakah yang enggan itu, ya Rasulullah?" Jawab beliau, "Barangsiapa mentaatiku, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa mengingkariku, maka dialah orang yang enggan." Sabda beliau lainnya, "Tidak sempurna iman seseorang di antaramu sehingga segala keinginannya mengikuti apa yang kubawa."  (Misykat).

Sungguh mengherankan orang yang mengaku dirinya muslim tetapi tidak mentaati Allah dan meninggalkan sunah-sunah Rasul-Nya. Jika hal ini kita sampaikan kepada mereka bahwa mereka meninggalkan sunah Nabi saw., mereka tentu akan marah. Sa'di rah.a. berkata dalam sebuah syair, "Barangsiapa menentang Nabi, maka perjalanan apa pun yang ditempuhnya tidak akan sampai ke tujuan."

Siapa pun orangnya, jika menyeleweng dari sunah Nabinya, maka jalan apa pun yang ia tempuh tidak akan sampai ke tempat tujuannya. Oleh sebab itu, setelah kita tahu bahwa seseorang itu adalah wali Allah, maka hendaknya kita selalu mendampinginya, banyak berkhidmat kepadanya, dan banyak mengambil manfaat dari ilmunya, karena  hal itu akan menyebabkan peningkatan agama kita. Dan Nabi saw. menyuruh kita agar selalu dekat dengan para kekasih Allah.

Beliau bersabda, "Apabila kalian melewati taman-taman surga, ambillah hasilnya." Para sahabat bertanya, "Apakah  taman-taman surga itu ya Rasulullah?" Jawab Beliau, "Majelis-majelis ilmu."  (Thabrani - At-Targhib). Nabi saw. juga bersabda, "Sesungguhnya Lukman Hakim berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, sertailah para ulama dan dengarkanlah ucapan-ucapan ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan nur hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan."  (At-Targhib).

Seorang sahabat bertanya kepada Nabi saw., "Siapakah sahabat yang terbaik bagi kami?" Jawabnya, "Seseorang yang jika kamu melihatnya, kamu teringat Allah. Jika kamu mendengar ucapannya, pengetahuanmu mengenai Islam bertambah. Dan jika kamu melihat perilakunya, kamu teringat akhirat." (At-Targhib). Hadits lain menyebutkan, "Hamba Allah yang terbaik adalah yang jika kamu melihatnya, kamu teringat Allah swt.." Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (Q.s. At-Taubah : 119).

Para ahli tafsir menafsirkan, maksud orang-orang yang benar dalam ayat ini ialah alim ulama ahli sunah dan para kekasih Allah. Barangsiapa berdekatan dengan mereka, mendengarkan nasihat-nasihat mereka, dan melayani mereka, akan mendapatkan tarbiyah dan kekuatan iman. Syaikh Akbar rah.a. menulis, "Seumur hidupmu tidak akan dapat menjauhkan diri dari kekuasaan hawa nafsu dan kemungkaran selama keinginanmu tidak disalurkan menurut perintah Allah dan sunah Nabi saw.. Oleh sebab itu, jika engkau menjumpai kekasih Allah, tumbuhkanlah rasa hormat dalam hatimu, layanilah ia dengan baik, dan ikutilah ajaran-ajarannya. Jadilah engkau seperti mayat di hadapannya, jangan engkau memiliki keinginan apa pun di hatimu. Jika mereka menyuruh, segeralah melaksanakannya. Apa yang dilarang olehnya, tinggalkanlah. Jika disuruh duduk, duduklah. Anggaplah apa pun perintahnya sebagai tugas kita. Bermusyawarahlah dengannya mengenai semua masalah agama dan ruhani, agar ia membimbingmu dan membawamu lebih dekat kepada Allah."

Oleh sebab itu, berusahalah mencari kekasih-kekasih Allah. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada suatu kaum yang mengingat Allah dalam suatu majelis, kecuali malaikat akan berkerumun mengelilinginya, rahmat akan bercucuran ke atasnya, diturunkan kepada mereka sakinah, dan Allah akan mengingat mereka dalam majelis para malaikat. Adakah kehormatan yang lebih terhormat bagi para mukmin daripada yang diberikan Allah dengan mengingat mereka di dalam majelis-Nya?"  Dalam sabda Nabi saw. lainnya, "Sekumpulan malaikat diutus kepada orang-orang yang mengingat Allah dengan ikhlas, kemudian mereka berkata, "Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan telah menggantikan amalmu yang buruk dengan yang baik." Nabi saw. juga bersabda, "Majelis mana pun yang tidak mengingat Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi saw. akan menemui kekecewaan dan kerugian pada hari Kiamat." Ada sebuah doa Nabi Dawud a.s., "Ya Allah, jika Engkau melihat diriku tidak menyertai kumpulan orang-orang yang mengingat-Mu dan menghadiri kumpulan yang melalaikan-Mu, maka patahkanlah kakiku." Sebuah syair berbunyi, "Jika aku tidak mendengar-Nya dan melihat wajah-Nya, maka lebih baik aku menjadi buta dan tuli."

Abu Hurairah r.a. berkata, "Suatu majelis yang mengingat dan membesarkan Allah akan memancarkan nur yang terlihat oleh ahli-ahli langit seperti bintang-bintang bercahaya terlihat oleh ahli bumi." Suatu ketika Abu Hurairah r.a. pergi ke pasar dan mengumumkan kepada orang-orang, "Saudara-saudara, mengapa kamu duduk-duduk saja di sini padahal warisan Rasulullah saw. sedang dibagi-bagikan di masjid?" Orang-orang pun berlarian ke masjid, tetapi tidak ada suatu barang pun yang dibagikan di sana. Mereka pulang dengan kesal dan berkata, "Di sana tidak dibagikan apa-apa." Abu Hurairah r.a. bertanya, "Lalu ada apa di sana?" Jawab mereka, "Sebagian orang sedang membaca Al-Quran dan sebagian yang lain berdzikir memuji dan membesarkan Allah." Sahut Abu Hurairah r.a., "Itulah yang dimaksud dengan warisan Rasulullah saw.." Imam Ghazali rah.a. menulis banyak hadits yang serupa dengan hadits di atas. Rasulullah saw. telah diperintah oleh Allah swt. agar selalu bersama-sama mereka yang dekat dengan-Nya. Allah swt. berfirman:

"Dan sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabbnya pada pagi dan petang, mereka menghendaki ridha-Nya dan janganlah engkau palingkan kedua matamu dari mereka karena menghendaki perhiasan hidup di dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan adalah pekerjaannya berlebih-lebihan."  (Q.s. Al-Kahfi :  28).

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. telah diperintah agar menjauhkan diri dari mereka yang melanggar batasan hukum Allah, lalai dari mengingat Allah swt., dan mengikuti hawa nafsunya. Banyak hadits yang menunjukkan bahwa Nabi saw. pernah bersyukur kepada Allah karena telah membangkitkan orang-orang shalih di antara umatnya, dimana beliau diperintahkan duduk bersama mereka. Adapun mereka yang selalu mengikuti budaya orang-orang kafir, orang-orang fasik, dan orang-orang Nasrani dalam cara hidup dan tingkah laku mereka, baik dalam urusan agama atau dunia, hendaknya merenung, memeriksa, dan bertanya kepada diri sendiri akan keimanan mereka, jalan manakah yang sedang mereka tempuh.

Wahai insan yang lalai! Aku khawatir kalian tidak akan sampai ke Ka'bah karena jalan yang kalian lalui menuju ke Turkistan

Tujuan saya menulis risalah ini sebenarnya ingin memberikan nasihat dalam beragama, dan Alhamdulillah, hal ini sudah saya lakukan. Sekarang saya serahkan kepada Allah dan saya akhiri penulisan risalah ini.

Dan tiadalah bagi para Rasul kecuali sekadar menyampaikan.