26 Mei 2009

Hadits-Hadits Rasulullah saw. Tentang Pentingnya Amar Ma’ruf Nahi Mungkar


Dalam bab ini akan diketengahkan beberapa hadits Rasulullah saw. yang berkaitan dengan pembahasan Bab I. Memang bukan maksud saya untuk menghimpun semua hadits (mengenai dakwah); lagi pula,  hal itu juga tidak mungkin. Selain alasan tersebut, apabila dituliskan semua ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah saw. mengenai amar ma'ruf nahi mungkar, dikhawatirkan tidak akan ada orang yang mau membacanya. Pada zaman ini, siapakah yang memiliki waktu dan kesempatan untuk hal-hal seperti itu? Jadi, sekadar memberitahukan  dan menyampaikan kepada para pembaca betapa penting amar ma'ruf nahi mungkar dalam pandangan Nabi saw., dan betapa keras ancaman jika kita meninggalkannya. Di sini akan dituliskan sebagian dari hadits-hadits tersebut.

Hadits Ke-1:

Dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa melihat kemungkaran dilakukan di hadapannya, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka bencilah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman." (Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasa'i - At-Targhib).

Disebutkan dalam hadits yang lain bahwa jika seseorang dapat mencegah kemungkaran dengan lidahnya, maka cegahlah. Jika tidak, maka yakinilah di dalam hati bahwa perbuatan itu merupakan suatu kemungkaran. Dengan demikian, ia terbebas dari tanggung jawab tersebut. Hadits lain mengatakan, "Barangsiapa membenci kemaksiatan, walaupun hanya di dalam hati, ia pasti seorang yang beriman. Tidak ada lagi derajat iman yang lebih rendah dari derajat itu. Masih banyak hadits Nabi saw. yang menyebutkan tentang hal ini. Sekarang lihatlah, apa yang tejadi di depan kita, berapa banyak di antara kita yang telah melaksanakan hadits tersebut? Berapa banyak kemungkaran yang telah kita saksikan, lalu kita mengubahnya dengan tangan kita, atau dengan lisan kita? Dan berapa banyak di antara kita yang hatinya benar-benar membenci kemungkaran? Padahal itulah selemah-lemah iman. Paling tidak, hendaklah kita meyakini bahwa kemungkaran adalah kemungkaran, dan ada kesedihan di dalam hati ketika melihatnya. Akhirnya, marilah kita berpikir, apa yang sedang terjadi pada zaman ini dan apa yang seharusnya kita lakukan terhadapnya.

Hadits Ke-2:

Dari Nu'man bin Basyir r.a., Nabi saw. bersabda, "Perumpamaan seseorang yang berada dalam batasan Allah dan orang yang melanggar batasan-Nya adalah seperti dua kelompok manusia yang naik sebuah kapal. Sebagian mereka duduk di bagian atas, dan yang lain di bagian bawah. Jika orang-orang yang di bawah memerlukan air, mereka harus melewati orang-orang yang ada di bagian atas. Lalu orang-orang yang di bagian bawah itu berkata, "Seandainya kita lubangi saja bagian bawah perahu ini tentu kita tidak akan menyusahkan orang-orang yang di atas!" Apabila orang-orang yang di bagian atas membiarkan mereka, maka semuanya akan celaka. Dan jika mereka yang bagian atas mencegah mereka, maka semuanya akan selamat." (Bukhari, Tirmidzi).

Pernah para sahabat Nabi saw. bertanya, "Ya Rasulullah, apakah kami akan dibinasakan walaupun di antara kami ada orang-orang shalih dan bertakwa?" Nabi saw. menjawab, "Ya, jika kejahatan telah merajalela."

Dewasa ini, umat Islam dilanda kemerosotan dari segala segi. Dan mereka yang mempedulikan Islam banyak yang mengkhawatirkannya, lalu berusaha dengan berbagai cara untuk memperbaiki keadaan ini. Namun, jangankan para cendekiawan, para ulama pun tidak mau memperhatikan bagaimana dokter yang sebenarnya dan penuntun yang sangat menyayangi kita (Nabi saw.) memberitahukan diagnosa bagi penyakit umat tersebut dan apa obatnya. Sejauh manakah kita telah mengamalkannya? Adakah kezhaliman yang melebihi perkara ini: yaitu ketika sumber penyakit malah kita anggap sebagai obat penyembuh. Karena kita tidak memahami penyebabnya (kemajuan dan sebab-sebab kemajuan agama tidak diperhatikan, hanya mengandalkan pendapat masing-masing), maka jika yang kemarin sakit, hari ini tidak mati, apakah yang akan terjadi kelak?

Sebuah syair Urdu menyebutkan:

"Tuan, betapa polosnya engkau, engkau sakit, dan engkau beli  penyebab penyakit itu dari penjual minyak wangi sebagai obat."

Hadits Ke-3:

Dari Ibnu Mas'ud r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Penyebab utama kehancuran Bani Israil adalah, jika orang (shalih) di antara mereka bertemu dengan pelaku maksiat, ia berkata, "Takutlah kamu kepada Allah, janganlah kamu berbuat begitu, karena hal itu tidak halal bagimu!" Kemudian esoknya, orang shalih itu bertemu kembali dengan orang itu dalam keadaan sama, tetapi ia tidak melarangnya, bahkan orang shalih itu makan, minum, dan duduk bersamanya. Ketika mereka berbuat demikian, Allah menyatukan hati mereka (hatinya disamakan dengan hati pelaku maksiat tersebut). Kemudian Nabi saw. membacakan ayat, 'Telah dilaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil melalui lisan Dawud dan Isa bin Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka lakukan. Engkau lihat kebanyakan mereka mengangkat orang-orang kafir menjadi pemimpin. Sungguh amat buruk apa yang mereka sediakan bagi diri mereka, yaitu murka Allah ke atas mereka dan mereka kekal dalam adzab. Dan jika mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi, dan apa-apa yang diturunkan kepadanya, tentu mereka tidak akan mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik." Kemudian Nabi saw. bersabda, "Ingatlah, demi Allah, kalian harus mengajak kebaikan dan mencegah keburukan, cegahlah mereka yang berbuat zhalim dan serulah mereka kepada kebenaran yang hakiki." (Abu Dawud, Tirmidzi - At Targhib).

Hadits lain menyatakan bahwa  ketika Rasulullah saw. sedang duduk bersandar di bantal, tiba-tiba beliau berdiri dengan penuh semangat lalu bersabda dan bersumpah, "Demi Allah, kamu tidak akan mencapai keselamatan selama kamu tidak mencegah penzhalim dari kezhalimannya." Beliau juga bersabda, "Kalian hendaklah selalu mengajak kepada kebenaran, mencegah kemungkaran, dan menghentikan penzhalim dari kezhalimannya dan mengajak mereka kepada kebaikan. Jika tidak, hati kalian akan disatukan dengan hati mereka, dan kalian akan dilaknat oleh Allah sebagaimana Allah telah melaknat Bani Israil." Kemudian beliau membaca ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Bani Israil telah dilaknat karena mereka tidak mencegah orang lain dari perbuatan yang dilarang.

Dewasa ini dipandang sebagai kebaikan apabila seseorang selalu berdamai dan menggembirakan setiap orang pada setiap waktu dan keadaan. Dan ini dianggap sebagai kesempurnaan dan keramahan. Ini adalah pendapat yang keliru, sebab jika perbuatan kita tidak bermanfaat untuk amar ma'ruf nahi mungkar, maka diam itu lebih baik (daripada selalu mengiyakan). Sebaliknya, jika ada kesempatan untuk menyampaikan dan mengajak kepada kebaikan, misalnya kepada para bawahan, istri, anak, atau kenalan, sebaiknya kita tidak diam membisu. Pada saat seperti itu, diam bukanlah akhlak yang baik, bahkan diam pada saat seperti itu merupakan kesalahan yang besar, baik secara syariat atau adat. Sufyan Ats-Tsauri rah.a. berkata, "Barangsiapa sangat disukai dan dimuliakan tetangganya, kenalan, dan sanak saudaranya, kami menduga jangan-jangan ia tidak tegas dalam berdakwah!"

Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa bila kemaksiatan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka akibat buruknya hanya akan menimpa pelakunya, tetapi jika maksiat dilakukan secara terang-terangan dan orang yang dapat mencegahnya hanya berdiam diri, maka semua orang akan mendapat akibat buruknya. Sekarang, setiap orang hendaknya memikirkan berapa banyakkah kemaksiatan yang terjadi di hadapan kita setiap hari, yang sebenarnya kita dapat mencegahnya, tetapi kita justru mengabaikannya dan tidak mempedulikannya? Tak seorang pun dari hamba Allah yang berusaha menghapus kemungkaran tersebut. Bahkan sekarang, jika ada orang yang berusaha mencegah kemungkaran; maka ia akan ditentang, disalahkan, bukannya dibantu, tetapi malah dilawan. Al-Quran menyatakan:

"Dan orang-orang yang zhalim itu akan mengetahui ke tempat manakah mereka akan kembali (untuk diadzab)." (Q.s. Asy-Syu'araa': 227).

Hadits Ke-4:

Dari Jarir bin Abdullah r.a., ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Tidklah seseorang berada di suatu kaum dan ia berbuat maksiat, tetapi mereka tidak mengubahnya padahal mereka mampu mengubahnya, kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka bencana sebelum mereka mati." (Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Ashbahani - At Targhib).

Wahai sahabat-sahabatku yang ikhlas dan menginginkan kemajuan umat Islam dan agamanya! Sekarang saudara-saudara dengan jelas telah mengetahui apa yang menjadi penyebab kemerosotan kita. Setiap orang tidak usah melihat orang lain atau temannya. Lihatlah sejenak kemaksiatan yang dilakukan oleh anak-anak kita, keluarga kita, dan bawahan kita. Kemungkaran benar-benar terbuka di hadapan mata kita, tetapi sudahkah kita berusaha menghentikannya? Jangankan menghentikannya, keinginan ke arah itu saja ada atau tidak? Atau adakah kekhawatiran di dalam hati kita mengenai apa yang sedang diperbuat oleh anak kesayangan kita.

Biasanya kita memperhatikan tingkah laku anak-anak kita saja. Jika mereka terlibat dalam suatu kegiatan yang bertentangan dengan pemerintah atau hanya hadir dalam suatu pertemuan politik, maka kita akan merasa sangat cemas dan berusaha mencegah serta melarangnya. Bukan hanya mengkhawatirkan nasib anak-anak kita, tetapi juga mengkhawatirkan kehormatan kita. Sebaliknya, jika anak-anak kita melanggar perintah Allah, apakah kita juga mencegahnya sebagaimana kita mencegahnya ketika mereka melanggar peraturan pemerintah dunia yang remeh dan sementara?

Kadangkala kita mengetahui bahwa anak kita sudah terbiasa dengan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti bermain catur dan sering meninggalkan shalat. Namun, pernahkah kita mencegahnya walaupun sekadar mengatakan "Apa yang kamu lakukan? Itu bukan perbuatan seorang muslim." Padahal kita juga telah diperintahkan untuk meninggalkan makan minum dengan mereka. Banyak orangtua yang memarahi anaknya karena malas belajar atau bekerja, tetapi adakah di antara kita yang memarahi anaknya karena tidak memperhatikan shalat berjamaah atau karena mengqadha shalatnya?

Saudara-saudaraku, seandainya perkara-perkara tersebut menyebabkan kerugian akhirat saja, itu pun harus kita hindari sejauh-jauhnya. Tetapi celakanya, kerugian dunia yang secara amaliyah kita anggap lebih penting dari akhirat, kerugiannya juga disebabkan oleh perkara-perkara tersebut. Renungkanlah, adakah yang melebihi kebutaan ini?

"Barangsiapa buta (hatinya) di dunia ini, pasti ia akan buta di akhirat." (Q.s. Al-Israa: 72). Jadi, sebenarnya:

"Allah telah menutup hati, pendengaran, dan penglihatan mereka." (Q.s. Al- Baqarah: 7)

Hadits Ke-5:

Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Kalimat Laa ilaaha illallaah akan selalu memberi manfaat bagi orang yang mengucapkannya dan akan menjauhkan mereka dari adzab dan bencana, selama mereka tidak mengabaikan hak-haknya." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah maksud mengabaikan hak-haknya?" Jawab Beliau, "Kemaksiatan kepada Allah dilakukan dengan terang-terangan, tetapi tidak dicegah dan diubah." (Al-Ashbahani - At-Targhib).

Sekarang jawablah dengan jujur, apakah kemaksiatan kepada Allah pada saat ini ada akhirnya? Ada batasnya? Kita dapat menyaksikan betapa kemaksiatan demikian bebas dilakukan, tetapi adakah orang yang sungguh-sungguh mencegahnya atau paling tidak menguranginya? Sama sekali tidak ada. Dengan demikian, masih adanya kaum muslimin di dunia yang sedang dalam bahaya ini merupakan rahmat yang berharga dari Allah. Jika tidak, bukankah kita telah menyulut penyebab kehancuran bagi diri kita sendiri? Aisyah r.ha. bertanya kepada Nabi saw., "Jika Allah akan menurunkan adzab ke dunia ini, apakah adzab itu akan menimpa orang-orang yang shalih seperti orang-orang yang bersalah diadzab?" Jawab Nabi saw., "Ya, adzab akan menimpa semua orang di dunia ini; tetapi pada hari Kiamat, orang shalih akan dipisahkan dari orang yang bersalah."

Wahai saudara-saudaraku yang merasa puas dengan keshalihan dirinya di dunia, janganlah merasa tenang. Jika Allah menurunkan adzab karena kemaksiatan yang merajalela, kita pun akan terkena adzab tersebut (na'udzubillah).

Hadits Ke-6:

Dari Aisyah r.ha., ia berkata, "Suatu ketika, Rasulullah saw. masuk ke (dalam rumah)ku, dan aku mengetahui dari raut wajah beliau bahwa sesuatu telah terjadi pada diri beliau. Beliau tidak berbicara kepada siapa pun. Setelah berwudhu, beliau masuk ke masjid. Aku pun merapatkan (telinga) ke dinding kamarku agar dapat mendengar apa yang beliau sabdakan. Beliau duduk di atas mimbar. Setelah memuji Allah, beliau berkhutbah, 'Wahai manusia, sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, 'Serulah manusia agar berbuat baik dan cegahlah mereka dari kemungkaran sebelum (datang masa) ketika kalian berdoa, tetapi doa kalian tidak Aku kabulkan; kalian meminta kepada-Ku tetapi Aku tidak memberimu; dan kalian meminta tolong kepada-Ku tetapi Aku tidak menolongmu.' Beliau tidak menambah khutbahnya hingga turun (dari mimbar)." (Ibnu Majah, Ibnu Hibban – At-Targhib).

Bagi saudara-saudara yang ingin melawan musuh-musuh Islam tetapi tidak mempedulikan dan meremehkan masalah agama hendaknya benar-benar memperhatikan hadits ini, bahwa pertolongan terhadap kaum muslimin itu tersembunyi dalam kekuatan agama mereka. Abu Darda r.a. adalah seorang sahabat yang terkenal. Ia berkata, "Tetaplah engkau menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah mereka dari kemungkaran. Jika tidak, Allah akan membangkitkan seorang raja zhalim yang akan memerintahmu, yang tidak menghormati kaum tuamu dan tidak akan menyayangi orang-orang muda di antaramu. Jika orang-orang shalihmu berdoa kepada-Nya, Dia tidak akan mengabulkan doa mereka. Jika engkau meminta bantuan dari-Nya, Dia tidak akan membantumu. Jika engkau memohon ampunan-Nya, Dia tidak mengampuni dosamu, oleh sebab itu Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, maka Dia akan menolongmu dan Dia akan mengokohkan langkah-langkahmu (terhadap musuh-musuhmu)." (Q.s. Muhammad: 7). Allah juga berfirman:

"Jika Allah menolong kalian, maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkanmu. Dan jika Allah membiarkan kalian, maka siapakah yang akan membantu kalian (selain) Allah sesudah itu? Dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal." (Q.s. Ali Imran: 160).

Disebutkan di dalam Durrul-Mantsur, riwayat Tirmidzi dari Hudzaifah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda sambil bersumpah, "Tetaplah kamu menyuruh manusia agar berbuat baik dan mencegah mereka dari kemungkaran. Jika tidak, Allah akan menurunkan adzab yang pedih kepadamu dan doamu tidak diterima oleh-Nya."

Para pembaca yang mulia, marilah kita sama-sama berpikir, sejauh manakah kita telah melanggar hukum-hukum Allah? Dan mengapa usaha kita dalam memperbaiki umat ini gagal? Dan mengapa doa-doa kita tidak dikabulkan? Apakah kita telah menanam benih kemajuan atau kemerosotan?

Hadits Ke-7:

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Apabila umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan tercabut dari mereka kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar, maka mereka akan terhalang dari keberkahan wahyu. Dan apabila umatku saling menghina , maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah." (Hakim, Tirmidzi - Durrul Mantsur).

Banyak orang yang berusaha agar umat Islam dan Islam menjadi jaya, tetapi usaha-usaha mereka ternyata menuju kegagalan. Jika kita meyakini bahwa Rasulullah saw. dan ajarannya benar, mengapa semua yang beliau ajarkan dan jelaskan sebagai penyebab penyakit justru kita anggap, bahkan kita dijadikan sebagai obat penyembuh? Nabi saw. bersabda, "Tidak sempurna iman seseorang di antaramu sehingga hawa nafsumu disandarkan pada agama yang aku bawa." Sayangnya, kita malah menganggap ajaran agama sebagai penghalang kemajuan kita.

Allah berfirman:

"Barangsiapa menginginkan keuntungan akhirat, akan Kami tambah keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa menginginkan keuntungan dunia, maka Kami berikan kepadanya keuntungan dunia. Dan tidak ada bagian baginya di akhirat." (Q.s. Asy-Syuraa: 20).

Sebuah hadits menyatakan, "Seorang muslim yang menumpukan hasratnya kepada akhirat, maka Allah akan memasukkan rasa kaya ke dalam hatinya, dunia menjadi hina baginya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya. Barangsiapa menginginkan dunia; ia akan diliputi kesusahan dan bencana, tetapi ia tidak akan menerima melebihi apa yang seharusnya ia terima." Kemudian setelah membaca ayat di atas, Nabi saw. bersabda, "Allah berfirman, 'Wahai manusia, luangkanlah dirimu untuk menyembah-Ku. Sembahlah Aku, niscaya akan Aku lapangkan dadamu dari kekhawatiran, dan Aku hapuskan kemiskinanmu. Jika tidak, niscaya akan Aku penuhi hatimu dengan kegelisahan dan Aku tidak akan menghilangkan kemiskinanmu."

Demikianlah petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Namun sangat disayangkan, kita menganggap bahwa keterbelakangan kita adalah karena jalan yang kita tempuh untuk maju dirintangi oleh para ulama. Tidakkah kita memikirkannya? Marilah kita perhatikan, seandainya para ulama itu orang yang loba dunia, tentu kemajuan kita pun akan menguntungkan mereka, sebab kita menyangka bahwa rezeki mereka berasal dari kita. Berarti, semakin luas dan terbuka keduniaan kita, maka semakin banyak yang mereka dapatkan. Nah, bila demikian keadaannya, dan mereka masih menentang kita, tentu ada sebab lain yang memaksa mereka, sehingga mereka mengorbankan keuntungan mereka sendiri, memisahkan diri dari pendidik dan penyantun seperti kita, serta merusak dunia mereka sendiri. Bimbingan kepada kita akan menjadi rusak dan keduniaan kita pun akan rusak.

Saudara-saudaraku, pikirkanlah jika para ulama atau ustadz itu mengajar kita berdasarkan Al-Quran, apakah pantas kita menolaknya? Andaikan kita menolaknya, kita hanya akan dikatakan sebagai orang yang tidak berakal, bahkan kita telah jauh dari sifat keislaman yang sebenarnya. Para ulama ini, selemah apa pun mereka, selama mereka menyampaikan hukum-hukum Allah dan hadits-hadits Rasulullah saw., maka kita harus mendengarkan dan mengamalkan nasihat-nasihat mereka. Jika tidak, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Sebodoh-bodoh orang, ia tidak akan mengatakan bahwa perintah seorang pimpinan tidak penting untuk ditaati hanya karena perintah itu disampaikan oleh tukang pembersih toilet. Hendaknya kita tidak berburuk sangka bahwa ulama yang mengabdikan dirinya dalam dakwah itu bertujuan untuk mencari keuntungan dunia. Dalam pikiran kita, seorang ustadz yang sesungguhnya mungkin saja pernah meminta untuk dirinya. Bahkan semakin sibuk ia beribadah, sejauh itu pula ia merasa cukup menerima hadiah. Kecuali jika ia meminta bantuan untuk urusan agama, Insya Allah, pahalanya lebih besar daripada tidak meminta untuk diri sendiri.

Suatu hal yang patut disayangkan adalah, kebanyakan ayat-ayat Al-Quran dipahami secara keliru. Secara umum orang berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada ajaran kerahiban (menghindari dunia memikirkan akhirat semata). Dalam Islam, agama dan dunia diletakkan secara sama. Buktinya, Allah Ta'ala berfirman:

"Ya Rabb kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Q.s. Al-Baqarah: 201).

Mereka pun sangat menekankan ayat ini. Seolah-olah dari seluruh ayat Al-Quran, hanya satu ayat inilah yang turun untuk diamalkan. Padahal tidak demikian halnya. Pertama, untuk memahami tafsir ayat tersebut harus diambil dari Arraasikhuuna fil ilmi (orang-orang yang dalam ilmunya). Oleh sebab itulah alim ulama berpendapat bahwa mengaku sebagai ahli Al-Quran dengan hanya mempelajari terjemahan Al-Quran merupakan suatu kejahilan. Dan mengenai ayat di atas, para sahabat dan ulama tabi'in telah mengungkapkan penafsiran yang sebenarnya.

Qatadah r.a. berkata, "Makna kebaikan di dunia adalah keselamatan dan keperluan hidup yang cukup." Ali r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna seorang istri yang shalihah."

Hasan Basri rah.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna ilmu Islam dan ibadah."

Suddi rah.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna harta yang halal."

Ibnu Umar r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna anak-anak yang berbakti kepada orangtua dan keindahan tubuh."

Ja'far r.a. berkata, "Kebaikan di dunia bermakna badan yang sehat, rezeki yang cukup, pengetahuan Al-Quran, kemenangan terhadap musuh Islam, dan bergaul dengan para shalihin."

Kedua, seandainya yang dimaksud dalam ayat ini adalah kemajuan dunia dalam segala bidang (sebagaimana hati saya pun menginginkannya), itu pun hanya disebutkan doanya kepada Allah, tidak disebutkan bahwa cara mendapatkannya adalah dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan dunia, sehingga berdoa memperbaiki tali sandal yang putus juga merupakan agama. Ketiga, siapakah yang melarang untuk mendapatkan dunia? Baik, dapatkanlah dunia, dengan senang hati dapatkanlah! Kita semua sama sekali tidak menghendaki untuk meninggalkan dunia yang memang dijarah dan dicari. Yang kita maksud, sebanyak apa pun usaha dunia kita, jangan sampai berlebihan, paling tidak berkadar sama dengan usaha agama. Sebab, sebagaimana pendapat kalian, agama dan dunia sama-sama diajarkan.

Dan lebih jauh lagi saya ingin mengingatkan, bukankah ayat di atas juga merupakan bagian dari Al-Quran yang sama, yang menyebutkan ayat-ayat berikut ini?

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka akan Kami segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam yang akan dimasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh dan ia seorang mukmin, maka mereka itulah yang usahanya disyukuri." (Q.s. Al- Israa: 18-19).

"Itulah kesenangan di dunia, dan di sisi Allah adalah sebaik-baik tempat kembali (surga)." (Q.s. Ali Imran: 14).

"Di antara  kamu ada orang yang menginginkan keduniaan dan di antara kamu ada orang yang menginginkan akhirat." (Q.s. Ali Imran: 152).

"Katakanlah (wahai Muhammad)! Keuntungan dunia ini sedikit, dan akhirat adalah lebih baik bagi orang yang bertakwa." (Q.s. An-Nisa: 77).

"Dan tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan permainan dan senda gurau belaka, dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak memahaminya?" (Q.s. Al-An'aam: 32).

"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (Q.s. Al- An'aam: 70).

"Kalian menginginkan harta dunia, sedangkan Allah menghendaki akhirat (untukmu)." (Q.s. Al-Anfal: 67).

"Apakah kamu lebih senang dengan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal kesenangan hidup dunia (bila dibandingkan) dengan akhirat hanyalah sedikit." (Q.s. At-Taubah: 38).

"Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, akan Kami balas pekerjaan mereka di dunia dan mereka tidak dirugikan, itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan hilanglah apa yang mereka usahakan (di dunia) dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan." (Q.s. Huud: 15-16).

"Dan mereka bersuka cita dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia jika (dibandingkan) dengan kehidupan akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (Q.s. Ar-Ra'd: 26).

"Maka atas mereka kemurkaan dari Allah, dan bagi mereka adzab yang besar. Yang demikian itu dikarenakan mereka lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat." (Q.s. An-Nahl: 106-107).

Saya tidak menuliskan semua ayat yang membandingkan antara kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, cukup beberapa ayat sebagai contoh. Semuanya menunjukkan maksud bahwa siapa yang mementingkan kehidupan dunia daripada akhirat, maka ia akan merugi. Jika keduanya tidak dapat dicapai, hendaknya akhirat lebih dipentingkan dan ditunaikan keperluannya. Saya mengakui bahwa dunia itu memang perlu, tetapi tidaklah bijaksana jika kita duduk terus di dalam WC, walaupun kita memerlukan tempat itu. Jika kita memperhatikan hikmah Ilahi dengan seksama, akan kita temukan dalam syariat yang suci ini bahwa semuanya telah tercakup. Allah telah memerintahkan kepada seluruh hamba-Nya mengenai semua perkara dengan jelas. Misalnya, Allah memerintahkan kita agar mengerjakan shalat fardhu pada waktu yang telah ditetapkan. Ini adalah isyarat agar kita dapat membagi waktu selama 24 jam, separuh malam dan siangnya khusus untuk ibadah, dan selebihnya untuk istrirahat dan untuk urusan keduniaan. Sebagaimana jalan pikiran Anda bahwa agama dan dunia harus sama-sama diperhatikan, maka hal itu menuntut pembagian waktu dalam sehari semalam; separuh untuk agama dan separuh untuk dunia. Jika kita menghabiskan lebih dari separuh waktu untuk keduniaan dan keperluan jasmani, berarti kita telah mengutamakan dunia.

Kesimpulannya, sesuai dengan pendapat Anda dan juga sesuai dengan keadilan; dalam sehari semalam selama 12 jam hendaknya kita gunakan khusus untuk agama, sehingga dunia dan akhirat dapat terpenuhi. Barulah betul bila kita katakan kita diperintah untuk mendapatkan dunia dan akhirat, dan Islam tidak mengajarkan kerahiban. Uraian ini sebenarnya bukan maksud dari bab ini, tetapi karena adanya kesalahpahaman, maka saya menuliskannya di dalam bab ini. Dalam bab ini, sebenarnya saya ingin menuliskan semua hadits Nabi saw. mengenai pentingnya dakwah dan tabligh, tetapi tujuh hadits di atas kiranya telah mencukupi bagi mereka yang beriman. Adapun bagi mereka yang tidak beriman, firman Allah swt. di bawah ini lebih dari cukup.

"Dan orang-orang yang zhalim kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." (Q.s. Asy- Syu'araa: 227).

Pada akhir bab ini, ada satu masalah penting yang mesti diperhatikan oleh para pembaca. Beberapa hadits menyebutkan bahwa suatu saat nanti akan tiba zaman fitnah, kebakhilan akan ditaati, setiap orang akan menuruti hawa nafsunya, dunia akan lebih diutamakan melebihi agama, setiap orang akan mengikuti keinginannya sendiri dan tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Dan apabila zaman fitnah itu datang, kita dianjurkan oleh Rasulullah saw. agar pergi mengasingkan diri ke suatu tempat dan menyibukkan diri untuk beribadah tanpa harus berdakwah. Namun, para ulama berkata bahwa zaman fitnah itu belum tiba. Pada zaman ini, apa yang dapat kita lakukan adalah  jangan sampai kita melihat sendiri datangnya zaman tersebut. Pada saat itu, perbaikan dalam bentuk apa pun tidak mungkin dilakukan. Kita harus menjauhi segala keburukan yang telah disebutkan tadi, karena semua itu merupakan pintu fitnah. Dan setelah itu, hanya fitnah dan fitnahlah yang ada. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. memasukkan hal-hal di atas sebagai pembinasa.

Ya Allah, peliharalah kami dari fitnah yang nyata dan yang tersembunyi.